Lambang Paksi Buay Pernong

Lambang Paksi Buay Pernong
Kijang Melipit Tebing

Skala Brak, Asal Muasal Orang Lampung

Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia. Boleh jadi, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula. Sekala Beghak adalah kawasan di lereng Gunung Pesagi (2.262 m dpl), gunung tertinggi di Lampung. Kalau membaca peta daerah Lampung sekarang, Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat. Pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit. Di Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.

Pengelana Tiongkok, I Tsing, pernah menyinggahi tempat ini, dan ia menyebut daerah ini sebagai “To Lang Pohwang”. Kata To Lang Pohwang berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak ampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.

Kamis, 11 Desember 2008

Gedung Dalom


Seperti layaknya sebuah kerajaan, Kepaksian Pernong juga memiliki istana yang sering disebut Lamban Gedung. Istana itu menempati pekarangan yang tidak terlalu luas, nyaris sama ukurannya dengan rumah-rumah di sekitarnya. Bentuk bangunannya pun tidak mencolok perbedaannya dengan arsitektur rumah adat setempat. Ini menjadi pertanda, bahwa Sai Batin begitu dekat dengan rakyatnya. Istananya pun tanpa pagar tembok pembatas yang menghalangi pemandangan orang dari luar.

Lamban Gedung Kepaksian Pernong memang punya banyak kelebihan dibanding rumah warga kebanyakan meski sekilas tidak jauh beda. Namun apabila dicermati, rumah panggung adat dari kayu itu banyak hal istimewa. Istana itu berbentuk persegi empat. Disangga dengan 36 tiang kayu berukuran besar, satu peluk tangan manusia dewasa. Diumpak di permukaan tanah, berjajar lurus baik secara garis lurus silang maupun diagonal. Belah-belah simetris antar tiang dalam garis tegak lurus maupun dalam garis sudut diagonal mengambarkan sebuah jalinan kokoh menyangga bangunan rumah di atasnya.

Demikian pula gelagar kayu utuh yang menghubungkan akan tiang sebagai penyangga lantai rumah juga sedemikian kokohnya, sambung menyambung saling “menggigit” menjadi tempat pilar dan papan lantai rumah disemayamkan, tempat menancap rapih tiang-tiang rumah penyangga kerangka atas dan atap. Kayu-kayu rangka rumah yang besar, kokoh, dan rapi membuat rumah tampak meyakinkan kekuatannya. “Waktu ada gempa, tiang yang disangga beton semen malah ambles, sementara yang disangga umpak tradisional, selamat,” kata warga setempat bercerita perihal umpak tiang di permukaan tanah.
Lamban Gedung berdinding kayu dengan jendela-jendela lebar, beratapkan s
eng dan tajuk atap memperlihatkan arah ke bentuk joglo yang mengerucut di bubungan atapnya menyatu pada kesatuan puncak. Di puncak atap bertengger mahkota dari kuningan berbentuk khas. Bagian depan terdapat replika atas rumah induk dalam ukuran kecil sebagai peneduh tangga masuk satu arah untuk kemudian menjadi dua arah masuk ke tataran lantai. Teras rumah ada di sisi kiri dan kanan pada lantai panggung, dibatasi dengan pagar ritmis kayu berukir pula. Pintu masuk ada di tengah dan kanan serta kiri.
Kayu yang melekat pada rangkaian rangka rumah bagian dalam dan luar, diukir dengan aneka ragam jenis ukiran. Beberapa ragam ukir di antaranya khas Lampung dengan sulur dan garis tanpa tatahan miring. Sejumlah ukiran di dinding luar atas dan tiang sangga di kolong rumah memperlihatkan ukiran kuno yang langka. Sementara itu pola ukel dan lengkung relung, mirip ukiran dari etnis lainnya di Nusantara. Tiang sangga di sisi-sisi luar, pada bagian tiang sebelah atas diberi asesoris semacam cukit atau siku penyangga atap luar. Biasanya berfungsi juga sebagai penyangga emper rumah. Namun, di Lamban Gedung juluran itu tidak menyangga apa-apa, hanya menjadi penghias bagaikan deformasi belalai gajah.

Bagian dalam Lamban Gedung, terdapat satu ruang besar disisi kiri belakang sebagai tempat Sai Batin beristirahat disebut Bilik Kebik. Tak ada yang masuk ke ruang itu kecuali Sai Batin dan Permaisuri atau kerabat yang diizinkan oleh Sai Batin. Di dalam ruangan itu, terdapat pula sejumlah senjata pusaka yang hanya Sai Batin atau Sultan yang berani memindah atau membukanya. Bahkan sewaktu dilakukan renovasi atas atap dan ruangan, senjata pusaka itu tetap pada tempatnya.
Di depan pintu Bilik Kebik terdapat pelaminan atau singgasana yang disebut margasana. Alas duduk Sai Batin terdiri atas kasur berlapis-lapis, hiasan dinding, dan langit-langit yang terbuat dari kain beludru warna warni dan manik-manik yang disebut Lelukukh Juttai. Jika Sai Batin memimpin sidang (hippun paksi) akan duduk di situ menghadap ke barat di mana seluruh raja jukkuan duduk bersila menghadap Sai Batin. Hanya Sai Batin dan Raja Jukkuan yang boleh duduk di tempat ini pada saat hippun paksi. Lantai Lamban Gedung ini ada dua trap, pada bagian depan dekat pintu masuk letak lantai lebih rendah sekitar sejengkal. Dalam acara tradisi, lantai rumah ini tanpa kursi, seluruh tamu duduk di bawah di atas karpet atau tikar. Begitupun apabila mereka mendapat jamuan makan dari Sai Batin, maka seluruhanya “lesehan”.
Selebihnya, ruangan dalam itu tanpa pembatas dan lantai kayu yang coklat telah dilapisi karpet merah. Seluruh permukaan tiang kayu ruang dalam, seluruh pilar dan belandar yang sambung sinambung dilekati lempeng kayu berukir tanpa dicat, berkesan alami dan dekat dengan suasana sekitar yang serba kayu dan alam masih rimbun menghijau. Dinding tampak coklat tua, tanda kayu tua dan terawat. Sejumlah ukiran memperlihatkan simbol-simbol tertentu namun belum ada yang mencoba untuk membacanya. Saat ini, ruang dalam Lamban Gedung diberi plafon langit-langit dari kayu dengan lekuk dan tataan baris potongan kayu, rapih dan lurus seperti di rumah moderen dimana pada setiap kotak lengkung dipasang satu buah piting lampu listrik. Langit-langit terplafon itu menjadi penutup konstruksi kayu pada kap atap selepas kait-mengkaitnya antar kayu, semenjak dari lantai sampai bagian ring menjelang rangka atap.
Di halaman rumah sisi kiri terdapat sebuah bangunan dengan atap melingkar mengerucut, seluruh 8 tiang kecil berdiri pada disi tepi bangunan melingkar pesegi delapan itu. Lantainya berpembatas dan tak ada tiang di tengah. Rumah itu berfungsi sebagai tempat para penggawa yang sedang berdinas dan berjaga. Tempat itu disebut gardu. Di situlah dulu para tamu Sai Batin menyampaikan kepada penggawa tentang maksud kedatangannya.
Lamban Gedung adalah salah satu tanda kebesaran Kepaksian Pernong karena rumah ini diwariskan dari para pendahulu dan terus terawat hingga sekarang. Bahkan diceritakan bahwa letak Lamban Gedung pada awalnya sejauh sekitar 15 kilometer dari tempat sekarang berdiri di Batu Brak. Konon, pada waktu memindahkan, rumah itu tidak dicopot atau dibongkar dulu melainkan diangkat ramai-ramai dan dibawa perlahan-pelahan menuju lokasi sekarang. Gempa dan kebakaran pernah menimpa Lamban Gedung, sejumlah kerusakan pernah dialami. Namun Sai Batin dan masyarakatnya terus melestarikannya.
Di dalam Lamban Gedung itu banyak hal telah terjadi. Pangeran Suhaimi dan Pangeran Maulana Balyan karena keaktifannya di pemerintahan menjadi pegawai Republik Indonesia, maka tidak lagi banyak tinggal di Lamban Gedung. Meski demikian mereka tetap merawat Lamban Gedung tanpa menempatkan orang khusus untuk itu, karena masyarakat sekitar sudah dengan sendirinya merawatnya. Bagian belakang Lamban Gedung kini juga didirikan bangunan baru yang terpisah dan disatukan dengan Lamban Gedung. Dulu antara rumah belakang dan Lamban Gedung tersela sebuah halaman terbuka. Di sisi kanan belakang dibangun ruangan dapur. Dulu di belakang dapur ini terdapat lumbung bahan pangan.
Lamban Gedung yang terletak di Batu Brak, persis di sisi utara jalan menuju ke arah Liwa dari lintas tengah Bandar Lampung – Liwa. Daerah ini berhawa sejuk karena berada di pegunungan lereng Gunung Pesagi. Pada sisi timur Lamban Gedung terdapat sebuah pemakaman para isteri atau permaisuri serta sejumlah Sultan Kepaksian Pernong.


Pada bagian bawah lagi, di tepi sebuah tebing curam dengan mata air jernih sepanjang tahun, terdapat makam tua yang dikabarkan sebagai makam Umpu Selalau Sangun Guru, raja keempat Kepaksian Pernong bersama sejumlah makam lainnya yang ditandai tonggak-tonggak nisan. Pohon rindang meneduhi dan tempat yang terlindung dalam rimbunan semak dengan jalan setapak ke lokasi itu. Makam utama ditandai dengan batu nisan dengan batu krast/kapur keras dengan bentuk dan goresan yang perlu pembacaan lebih lanjut. Goresan itu berupa garis yang sambung dan melintang seperti menyimbulkan sesuatu. Sangat mungkin, goresan itu merupakan deformasi bentuk huruf Lampung yang konon diciptakan oleh para pendiri Paksi Pak Sekala Beghak. Rupanya, banyak hal yang masih harus dibaca dari simbol-simbol kebesaran Kepaksian Pernong.

3 komentar:

Syaifullah Haji Andi Alwi mengatakan...

Istana yang sangat cantik. Meski bersahaja tapi aura kekeramatan tampak mendominasi. Pantas menjadi Istana Pemimpin Rakyat.

Syaifullah Haji Andi Alwi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
batu mirau mengatakan...

asslamualaikum.,.,.jama sai tuha raja,nabik pai pun sakin dua aga cawa cutik pak telu patoh.,.,skindua sanak lmpung barat tepat ni jak pugung pesisir,pugung malaya.,.,seno lamban kham rek ngapi bang mak ti ganti gwoh lamban ji sai jdi lamban adat kham lambar kak pameran di bandar lampung .,.,.,jak helau ni rek jak agung ni,nabik pai pun jama sai tuha ki sekira ni cawa ku wek sai salah.,.,