Lambang Paksi Buay Pernong

Lambang Paksi Buay Pernong
Kijang Melipit Tebing

Skala Brak, Asal Muasal Orang Lampung

Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia. Boleh jadi, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula. Sekala Beghak adalah kawasan di lereng Gunung Pesagi (2.262 m dpl), gunung tertinggi di Lampung. Kalau membaca peta daerah Lampung sekarang, Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat. Pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit. Di Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.

Pengelana Tiongkok, I Tsing, pernah menyinggahi tempat ini, dan ia menyebut daerah ini sebagai “To Lang Pohwang”. Kata To Lang Pohwang berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak ampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.

Selasa, 30 Desember 2008

Kesetiaan Pada Tradisi


"Saya bangga memiliki sultan yang berprestasi, saya ingat bagaimana sultan dengan ramah menerima semua orang yang berkunjung ketempatnya, semoga Pun Edward selalu seperti itu.. Dan kami selalu mengharapkan kebahagiaan bagi sultan, dan menjadi contoh bagi segenap pemuda Lampung Barat untuk berprestasi. long Live Sultan!!
Best Regards -Heikal Anugerah- Sukarame".
Begitu komentar dalam blog ini. Luar biasa! Ada kebanggaan, ada ketakziman dari seorang pemuda pada adat-istiadat, pada budaya, dan lebih spesifik pada Saibatinnya. Sesuatu yang amat langka muncul di era demokrasi ini.


Paksi Pak Sekala Brak, khususnya Kepaksian Pernong, harus bangga betapa masyarakat adatnya masih sangat menyatu dan taat dalam menjaga adat-istiadatnya. Apa yang ditulis oleh Heikal Anugerah dari Sukarame itu menunjukkan beberapa hal :
1. Penulis komentar pernah datang ke Gedung Dalom, dan bertemu dengan Saibatin Kepaksian Pernong, Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi yang Dipertuan Sekala Beghak XXIII. Dalam pertemuan itu Heikal melihat dengan mata kepalanya sendiri tindakan Pangeran yang menganggap rakyat adat Kepaksian Pernong, bukan lagi sebagai rakyat, tapi sebagai kerabat (sebagaimana dinyatakan oleh Pangeran dalam acara KICK ANDY : PARA PEWARIS HARTA). Apa yang dilihat Heikal, dan ribuan orang lain, telah mengilhami kesadaran bahwa Kerajaan Adat bukanlah bentuk monarkhi, namun merupakan bentuk kekerabatan untuk setia memegang tradisi leluhur.

2. Adanya pengakuan yang tulus tentang keberadaan Gedung Dalom. Gedung Dalom diakui dan dirasakan sebagai milik kerabat atau warga adat Kepaksian Pernong. Selain itu, warga adat Kepaksian Pernong juga mengaku sebagai rakyat sultannya, milik sultannya, milik Puniakan. Pengakuan itu memiliki nilai, bahwa dalam rentang sejarah yang panjang, sekitar seribu tahun, adat-tradisi dipegang teguh, tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Sejak jaman Empat Umpu hingga masa reformasi, kesetiaan masyarakat adat Kepaksian Pernong masih utuh terjaga, marwah dibela. Kesadaran semacam yang dimiliki oleh Heikal inilah yang membuat takut Belanda pada masa penjajahan dahulu.
Kesetiaan masyarakat adat Kepaksian Pernong membuat Belanda tak mampu menguasai tanah Lampung. Berbagai cara dilakukan Belanda untuk menundukkan Lampung, namun selalu gagal karena kegigihan Saibatin, dan kesetiaan rakyat pada Saibatin. Hingga akhirnya Belanda menggunakan strategi memecah belah masyarakat Lampung dengan mendirikan marga-marga, melalui Keputusan Residen Lampung No. 362/12 yang dikeluarkan tangggal 31 Mei 1864. Sekala Brak sendiri dipecah menjadi 16 marga, melalui Gouvernement Besluit DDO Maart 1844 No. 18. Lebih jauh, Belanda juga melarang penggunaan gelar adat.

Semua itu disebabkan oleh kegagalan Belanda membujuk rakyat Lampung untuk meninggalkan kesetiaan mereka pada Saibatinnya. Dan setelah marga-marga berdiri, Belanda menjadi 'pahlawan kesiangan' seolah menyatukan rakyat Lampung. Belanda memainkan politik pencitraan, seolah ada konflik antarrakyat Lampung, dan hanya Belanda yang mampu meredakan. Padahal sebaliknya, Belanda yang memecah belah.
Namun yang perlu disyukuri adalah, kesetiaan rakyat Kepaksian Pernong pada Saibatinnya tak pernah surut hingga sekarang.
Sosok pemuda seperti Heikal Anugerah adalah contoh bagaimana kecintaan rakyat atau kerabat Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, khususnya Kepaksian Pernong. Apa yang dikatakan Heikal, hendaklah diamini dan diimplementasikan dalam sebuah kreasi untuk kejayaan Kepaksian Pernong Paksi Pak Sekala Beghak.
Paksi Pak Sekala Brak adalah kerajaan yang besar. Kerajaan yang menurut sejarah sebagai penghasil emas. Kerajaan yang memainkan peran penting dalam gerak peradaban Nusantara hingga menjadi NKRI seperti sekarang.
Dari perjalanan sejarah itu, kita bisa menarik hikmah :
1. Paksi Pak Sekala Brak adalah kerajaan besar dan telah berumur seribu tahun lebih, dan selalu berproses dalam dinamika kebangsaan, melakukan pengawalan hingga berdirinya Republik Indonesia.
2. Jangan pernah lagi masyarakat Lampung terpecah-pecah. Lampung itu tetap satu, Kebudayaan Saibatin dan kebudayaan Pepadun memiliki anjak asal yang sama, berasal dari Sekala Brak. Pepadun dan Saibatin memiliki ideologi yang sama, yang berasal dari Pepadun, artinya singgasana. Singgasana bermakna kehormatan. Artinya seluruh warga Lampung harus terus menjaga kehormatan dirinya, kehormatan adat-istiadatnya, kehormatan kebudayaannya. Dan karena itu perbedaan yang ada harus disingkirkan, karena sesungguhnya kita satu.
Baca Selengkapnya...

Senin, 29 Desember 2008

Lampung Satu



Wilayah Lampung memiliki akar historis yang panjang dan penting. Keberadaan masyarakat dan kebudayaan Lampung, sudah tercatat sejak abad ke 3-4 Masehi, dengan kebudayaan Animisme/Dinamisme. Kemudian pada periode berikutnya, jejak agama Hindu dan Budha hadir di Lampung, dianut oleh masyarakat dan kerajaan yang berdiri dan berjaya di Lampung. Setelah kejayaan Hindu/Budha, masuk agama Islam yang dibawa oleh para mujahid dari tanah Arab, dari dinasti Ummayad, sekali lagi Lampung menjadi tujuan awal perubahan peradaban. Para pendakwah Islam yang diundang oleh Kerajaan Sriwijaya Jambi, setelah berhasil membimbing raja Srindravarman untuk memeluk Islam dan mengubah nama kerajaannya menjadi Sribuza Islam, maka para pendakwah meneruskan perjalanan dakwahnya hingga ke Lampung.


Dari rentetan sejarah itu berarti Lampung memiliki peran strategis dalam mengawal perubahan peradaban di Indonesia. Oleh sebab itu menjadi tanggung jawab kita semua, warga Lampung untuk mengenal dan mencintai kebudayaan kita, kebudayaan nenek moyang kita, kebudayaan yang jelas benderang dalam lintasan sejarah Nusantara.
Untuk mewujudkan rasa cinta pada kebudayaan Lampung, dapat dilakukan dengan bebagai cara, salah satunya adalah menggali sejarah masa lalu dan menuliskannya dalam sebuah buku. Hal ini penting, karena meski sejarah Lampung amat bersinar, namun dalam sejarah bangsa Indonesia, sejarah Lampung amat sedikit yang bisa kita telusur. Hal itu disebabkan karena rendahnya tradisi teks pada masyarakat Lampung, sehingga sejarah dan budaya Lampung kurang menempati posisi penting dalam sejarah Nasional.

Oleh sebab itu upaya penerbitan buku, penulisan artikel di media massa, pembuatan blog budaya, dan segala hal yang dimungkinkan untuk menelusuri dan menginformasikan sejarah dan budaya Lampung, perlu diapresiasi positip. Kita berharap semakin banyak informasi tentang Lampung yang ditulis oleh para sejarawan dan budayawan Lampung, akan semakin memperjelas peran dan posisi Lampung dalam peradaban Indonesia. Dan yang lebih penting adalah agar masyarakat Lampung tidak kehilangan jati dirinya, karena tidak mengenal sejarah dan asal-usulnya.
Saya mengetahui dan membaca beberapa komunitas budaya dan adat di Lampung telah menerbitkan buku tentang komunitas mereka, hal itu merupakan langkah awal untuk melakukan penelitian dan pengkajian sejarah Lampung secara komprehensif. Saat ini begitu banyak sejarah ditulis berdasarkan cerita-cerita lisan, berdasar mitos-mitos, bukan berdasar kajian dan penelitian. Oleh sebab itu, saya berharap penulisan itu dapat ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian dan pengkajian lebih serius.

Meski banyak sejarah ditulis berdasar mitos, namun hal yang paling membanggakan adalah adanya spirit untuk menggali, dan menemukan jati diri dalam satu komunitas yang beradab. Artinya, kehadiran kita (orang Lampung) sebagai suatu bangsa, tidak tiba-tiba tapi merupakan rentetan sejarah yang panjang, hingga kemudian kita menemukan bentuk final, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di titik inilah penerbitan buku-buku itu menemukan peran strategisnya. Buku merupakan bagian penting sebagai bagian dari mata rantai dialog kebudayaan yang terus-menerus dilakukan. Dan saya mendorong agar semua pihak, sudi meneliti, mengkaji dan menuliskan sejarah dan kebudayaan masing-masing, dengan harapan terjadi klarifikasi dan ditemukan titik-titik persamaan diantara semua kebudayaan yang ada di Lampung.
Kita sama mafhum bahwa dalam segala keberagaman budaya ada benang merah yang kita yakini bersama, juga tertulis dalam kajian peneliti-peneliti Indonesia maupun asing, bahwa masyarakat Lampung berasal dari Sekala Brak, Gunung Pesagi. Pengakuan ini dapat dijadikan titik tolak penelitian untuk mengungkap fakta-fakta tentang Lampung di masa lalu. Dan pengakuan itu sekaligus menunjukkan, meski Lampung memiliki keragaman budaya, namun tetap satu : satu nenek moyang, satu asal, dan satu sejarah.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 21 Desember 2008

Suara Hati

Beberapa komentar yang masuk ke Blog ini, membuat Pangeran Edward merasa terharu. Pangeran merasa begitu besar perhatian masyarakat, khususnya masyarakat adat Kepaksian Pernong. "Komentar itu menunjukkan betapa kecintaan masyarakat pada adat-istiadatnya. Sekaligus membuktikan kesetiaan mereka pada adat-istiadat, dimanapun mereka berada, mereka masih tetap mengaku bahkan bangga dan mengaku sebagai warga Kepaksian," kata Pangeran Edward.

Kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki warga adat itu merupakan modal untuk merevitalisasi kebudayaan Saibatin. Pangeran berharap warga adat Saibatin dapat menjaga nilai-nilai budaya tersebut di manapun mmereka berada. Bahkan perlu dilestarikan agar dapat mengharumkan nama Kepaksian, juga daerah Lampung Barat. Karena bagi Pangeran Edward, kebudayaan daerah yang bersumber dari kerajaan di masa lalu, merupakan alat perekat bangsa. Semakin kebudayaan daerah itu hidup dan berkembang, maka NKRI akan semakin kokoh, maju dan dihargai bangsa-bangsa lain.
Pangeran Edward mengucapkan terima kasih pada warga adat Saibatin dimanapun berada, dan berharap suatu saat dapat bersilaturrahmi untuk membahas bagaimana memajukan kebudayaan Saibatin.
Baca Selengkapnya...

Senin, 15 Desember 2008

Pantun Azimat

“Paksi Pak ghalni
Sinno asli ni Lampung
Ngejual mak ngebeli
Dilom adat ni Lampung”

“Pisan simbayang tinggal
tempanjin di nekhaka
pisan saibatin tisakkal
hak lebon suaka mena”

“Khiah-khiah kik dawah
kekunang kik debingi
kik Sai Batin mekhintah
tisangsat kham kipak mati”
Baca Selengkapnya...

Petuah Pun Edward Syah Pernong



Biji yang baik jatuh
ke laut jadi pulau

Saya ingin Sekala Beghak eksis. Eksistensinya betul-betul diakui. Terutama dalam membina kebudayaan dan peradaban. Karena saya lihat salah satu hal yang sangat signifikan membangun bangsa, character building, adalah keberadaban manusia. Manusia yang beradab.

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 13 Desember 2008

Peran Konstitusional Raja-raja Nusantara Dalam Memajukan Kebudayaan Nasional



Diklaimnya produk kebudayaan Indonesia seperti Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, motif batik, motif pahat Bali dan Asmat, dan beberapa lagi oleh negara lain, telah menyentak kesadaran masyarakat Indonesia. Mengapa kebudayaan kita diakui atau bahkan dianggap milik bangsa lain. Kasus itu telah menyulut emosi dan menghadirkan tuduhan pada negara yang mengkalim produk budaya Indonesia sebagai budaya mereka. Bahkan timbul wacana agar Indonesia menggunakan kekuatan politik dan militer untuk mengembalikan harga diri bangsa.

Namun ada yang dengan kepala dingin berpikir, mencari akar permasalahan. Kelalaian kita –bangsa dan pemerintah Indonesia—yang menjadi penyebab produk kebudayaan kita diakui sebagai produk kebudayaan negara lain. Bangsa ini tidak setia menjaga warisan nilai-nilai budaya bangsa, di tengah deras arus budaya lain. Bangsa ini seolah tak berdaya di tengah terpaan media massa yang datang tiap detik di ruang-ruang pribadi kita, merasuki alam bawah sadar, dan membentuk pola pikir dan pola tindak. Bangsa kita seperti tergagap dengan rayuan budaya lain yang menawarkan kemudahan, keindahan, kemewahan dan kenikmatan. Budaya yang membuat masyarakat kita terbang ke langit, melupakan bumi tempat mereka berpijak.
Mengapa ini terjadi?
Globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak. Namun bangsa yang cerdas adalah bangsa yang bergerak lebih cepat, menjadikan budaya bangsanya sebagai budaya global. Sedang bangsa yang bergerak lamban, hanya akan menjadi lahan subur budaya asing. Karena itu jika Indonesia menjadi lahan subur budaya asing, berarti bangsa ini telah bergerak lamban.
Mengapa demikian? Bisa jadi hal itu merupakan masalah prioritas. Pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi, mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena ekonomi menjadi prioritas utama, maka kebudayaan sementara ditinggalkan. Padahal UUD 1945 beserta amandemennya, telah mengamanatkan agar negara mengakui, menghormati, dan melindungi kebudayaan.
Pasal 18B UUD 1945 ayat 2 menyatakan :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Siapakah yang dimaksud dengan “kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya?” Kesatuan masyarakat hukum adat jelas merujuk pada masyarakat adat. Dan masyarakat adat, secara historis merupakan bagian dari sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dan “hak-hak tradisionalnya” merujuk pada hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Nusantara, misalkan hak atas tanah, hak atas gelar, hak atas kepemimpinan lokal-tradisional, dan sebagainya.
Dengan demikian pasal 18B UUD 1945 ayat 2 merupakan dasar hukum bagi Pemerintah Pusat, untuk mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan Nusantara. Eksistensi yang dimaksud adalah eksistensi budayanya. Hal itu sesuai dengan pasal 28-I UUD 1945 ayat 3 :
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Perkembangan zaman yang dimaksud bisa diterjemahkan sebagai bentuk kompromi budaya; antara budaya masyarakat tradisional dengan budaya baru yang masuk. Dengan kompromi itu diharapkan muncul inovasi dan kreasi baru untuk kesejahteraan masyarakat.
Perkembangan jaman juga bisa bermakna perkembangan atau dinamika masyarakat Indonesia. Setelah kemerdekaan, seluruh kerajaan-kerajaan Nusantara bergabung dengan NKRI. Dan UUD 1945 dengan amandemennya membagi wilayah Indonesia menjadi daerah-daerah. Hal itu bermakna bahwa “kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya,” disesuaikan dengan kondisi kewilayahan Indonesia Modern. Misalkan Mataram saat ini berada di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Atau lebih spesifik kekuasaan Ngayogyakarta Hadiningrat berada di wilayah DIY, sedang Surakarta Hadiningrat berada di wilayah Jawa Tengah.
Dengan demikian, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat harus dihormati oleh Negara Indonesia. Demikian juga dengan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain.
Lantas apa bentuk konkret dari “dihormati” sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28-I UUD 1945 ayat 3?
Kata dihormati artinya keberadaannya bukan hanya diakui namun juga dipelihara oleh negara. Dan bentuk negara memelihara identitas budaya dan hak masyarakat adat tradisional adalah menempatkan para pemimpin masyarakat tradisional, dalam hal ini Raja-raja Nusantara, dalam kedudukan sebagai rujukan bagi pengembangan budaya-budaya lokal. Setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah daerah, harus dikomunikasikan dengan para pemimin adat. Apalagi jika kebijakan yang akan diambil pemerintah daerah itu menyangkut tanah adat atau hak ulayat, tata kota, kesenian, dan kesejarahan.
Dan bentuk “dipelihara” oleh negara, artinya negara atau pemerintah memfasilitasi segala keperluan dalam upaya-upaya mempertahankan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Hal ini sesuai dengan pasal 32 ayat 1 UUD 1945 :
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Sebaliknya, jika masyarakat adat tidak diberi kebebasan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, berarti pemerintah telah melanggar UUD 1945 beserta amandemennya.
Hadirnya lembaga kebudayaan (Dewan kebudayaan kota/kabupaten maupun propinsi), di hampir seluruh daerah di Indonesia, bisa disebut sebagai itikad untuk melaksanakan pasal 32 ayat 1 UUD 1945. Dewan Kebudayaan berfungsi untuk memikirkan dan memperbaiki kebudayaan, melakukan penelitian, pengkajian, serta membuat konsep-konsep yang dapat disumbangkan pada pemerintah sebagai bahan pengambilan keputusan.
Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya saat meresmikan Dewan Kebudayaan Propinsi DIY menyatakan : “kedudukan Dewan Kebudayaan sebagai pusat pemikiran dalam mengadaptasi budaya iptek global, seraya membangun kearifan budaya lokal guna mengukuhkan jati diri bangsa yang berbasis pada kebhinekaan budaya etnik Nusantara .”
Dewan Kebudayaan adalah independen dan menjadi partner pemerintah daerah. Keberadaannya harus di luar pemerintah. Hal itu dikarenakan Dewan Kebudayaan harus memiliki kewewenang penuh dalam menjalankan tugasnya yaitu memajukan kebudayaan dan menjadikan kebudayaan sebagai strategi pembangunan masyarakat.
Dewan Kebudayaan sangat diperlukan untuk menginventarisir produk kebudayaan, seperti seni, alat, kain, tata kota, hak atas tanah dan lain-lain. Dari inventarisasi itulah, Dewan Kebudayaan akan merumuskannya menjadi kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Dengan demikian, kebudayaan daerah akan terus hidup.
Siapakah yang perlu/harus duduk di Dewan Kebudayaan? Seperti diuraikan di atas, bahwa masyarakat adat merujuk pada Kerajaan-kerajaan Nusantara yang eksistensinya diakui oleh Negara. Bentuk pengakuan eksistensi tersebut harus dikonkretkan, yaitu dengan menyerahkan Dewan Kebudayaan pada keluarga Kerajaan Nusantara. Dengan kata lain, dalam kehidupan negara modern, maka harus dikompromikan antara pemerintah dengan kepala adat (Raja Nusantara). Kepala Daerah dan DPRD tidak dapat mengabaikan masukan pemimpin budaya/adat yang berada di Dewan Kebudayaan, dalam setiap pengambilan keputusan. Bahkan bila dimungkinkan, Dewan Kebudayaan memiliki hak veto atas rencana pembangunan pemerintah daerah, bila rencana itu dikhawatirkan dapat menghambat kebudayaan daerah, atau bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat adat di daerah bersangkutan.

Baca Selengkapnya...

Kamis, 11 Desember 2008

Perlengkapan Adat

Keagungan tradisi masyarakat adat Kepaksian Pernong sebagai bagian tak terpisahkan dari Paksi Pak Sekala Beghak, dilengkapi pula dengan simbol-simbol kebesaran Sai Batin/Sultan dan tahtanya. Salah satu simbol kebesaran itu diwujudkan dalam bentuk alat dan peralatan upacara adat sehari-hari maupun dalam upacara adat kebesaran.


Payung Agung

Payung Agung, salah satu tanda keagungan dan kebesaran Sai Batin sebagai pengayom masyarakat yang dipimpinnya. Sampai dengan masa Sai Batin Pangeran Suhaimi, payung agung hanya dikenakan Sultan/Sai Batin. Payung Agung Sai Batin dapat berwarna apa saja, kecuali warna hijau.
Payung Agung selalu dikembangkan menyertai langkah Sai Batin. Apabila Sai Batin berkunjung ke Jukkuan maka payung agung dikembangkan guna memayungi pada saat proses arak-arakan. Apabila Sai Batin masuk ke dalam rumah/ruang perhelatan Jukkuan yang sedang nayuh maka payung agung tetap dikembangkan di belakang tempat duduk Sai Batin.
Apabila Sai Batin tidak bisa hadir sendiri dan mengirim utusan, maka yang ditegakkan di depan rumah tetapi tidak dikembangkan (dibiarkan kuncup) adalah Payung Songsong Kuning, tanda bahwa utusan Sai Batin yang hadir di dalam rumah empunya hajat. Begitupun saat prosesi arak-arakan, payung songsong kuning tetap ditampilkan mengiring disamping wakil Sai Batin tetapi tidak dikembangkan. Utusan yang mewakili Sai Batin tetap dipayungi dengan payung lain warna hijau. Sementara songsong kuning Sai Batin tetap ikut diarak dalam keadaan tidak mengembang (kuncup).
Namun sejak tahun 1950 mulai ada Kepala Jukku yang membuat payung agung. Maksudnya, agar setiap kali Sai Batin memenuhi permohonan masyarakat hadir di Jukkuannya, payung agung sudah tersedia. Perkembangan berikutnya agak menyimpang, payung agung itu juga digunakan sebagai payung kebesaran Jukkuan. Pangeran Edward melihat kenyataan itu dan akhirnya dengan penuh kearifan, memutuskan setiap Jukkuan memperoleh anugerah perkenan pemakaian payung agung Sai Batin. Hanya payung agung Jukkuan harus berwarna hijau. Payung Jukkuan ini disebut Payung Kanggal. “Kalau itu mampu menimbulkan kebanggaan identitas diri kelompok mereka, simbol adat itu akan menjadi punya manfaat. Jukkuan bisa memiliki payung sendiri yang berbeda dengan payung agung Sai Batin.”
Payung Kanggal Jukkuan berwarna hijau. Selain payung agung warna hijau, adalah warna payung agung Sai Batin. Dalam rangka memperkuat keputusannya ini, Pangeran Edward selaku Sai Batin pun telah menyerahkan sejumlah dana kepada Raja Pemuka Dalom Kuta Besi untuk membuat tiga buah Payung Kanggal yang dapat digunakan oleh Jukkuan sebelum tiap-tiap Jukkuan mampu membuat Payung Kanggal sendiri.
Jukkuan juga diperkenankan memiliki Payung Kanggal lebih dari satu. Bahkan boleh digunakan secara sekaligus dalam upacara nayuh – tayuhan. Hal ini untuk mengatasi apabila Mulli Jukuan Baya dipayungi dan Mulli Jukkuan Kuwakhi juga dipayungi. Kedua-duanya boleh dipayungi oleh anak buah masing-masing. Juga apabila ada Jukkuan hasil pemekaran. Arak-arakan dalam upacara nayuh pemekaran Jukkuan ini, Mulli Jukkuan Pakkal (asal) dan Mulli Jukuan yang nayuh (pemegang Jukkuan baru) sama-sama dipayungi. Hanya, hal tersebut dapat dilakukan apabila Sai Batin atau yang mewakili tidak hadir dalam arak-arakan upacara Tayuhan Jukkuan.
Payung Agung Sai Batin dan Payung Kanggal ini memiliki bentuk yang khas dengan penutup kain bersulam manik-manik warna mencolok dan mengkilat. Tangkai payung panjang bersaput kain warna mencolok, atap berbentuk lingkaran dengan jeruji anyam ke arah as tiang penyangga. Tepian ujung lingkaran atap payung berhias rumbai aneka warna yang menjuntai dan bersinaran apabila tertimpa cahaya.

Lalamak, Titi Kuya, Jambat Agung

Lalamak, berupa tikar anyaman daun pandan yang dialas kain panjang dengan dijahitkan. Sedangkan Titi Kuya adalah talam terbuat dari kuningan. Talam ini diletakkan di atas lalamak. Setiap lembar lalamak ditempatkan dua titi kuya. Jambat Agung adalah selendang tuha atau angguk khusus segi empat yang diletakkan di atas titi kuya. Ketiga peralatan upacara adat ini berfungsi sebagai satu kesatuan dalam menyediakan titian atau alas menapak Sai Batin pada saat berjalan memasuki tempat perhelatan setelah selesai upacara arak-arakan.
Ketiga alat menjadi satu paket rangkaian, dan biasanya disiapkan lebih dari satu paket sambung sinambung. Tiap alat dipegang sambung menyambung oleh perempuan-perempuan berpasangan, berjajar dan duduk bersimpuh di permukaan tanah. Lalamak-Titi Kuya-Jambat Agung satu rangkaian padu alas langkah Sai Batin. Setelah Sai Batin menapakkan langkah kakinya di atas lapisan tiga alat tersebut, maka perempuan pemegangnya harus membawa alatnya menyambung ke arah depan Sai Batin melangkah. Jangan sampai telapak kaki Sai Batin langsung menginjak tanah sampai dengan tempat duduknya.
Lalamak, Titi Kuya, dan Jambat Agung adalah gambaran kesetiaan, pengabdian sekaligus kasih sayang masyarakat adat Kepaksian Pernong terhadap Sai Batinnya.

Dalam pedoman pemakaian Lalamak yang ditulis H. Ibnu Hadjar gelar Raja Sempurna disebutkan, Lalamak diletakkan berbaris 4-6 lembar di jalan dengan kain panjangnya di atas. Di atas Lalamak diletakkan Titi Kuya masing-masing dua buah. Di atas Titi Kuya dibentangkan Jambat Agung berupa Selendang Tuha. Namun, apabila Jambat Agung kain angguk segi empat seukuran Titi Kuya maka tiap-tiap Titi Kuya diletakkan satu lembar dan tidak lagi dibentangkan selendang tuha (yang panjang).
Rangkaian Lalamak ini dipasang bila Sai Batin mulai berjalan dalam arak-arakan dengan tanda momentum pada saat Sai Batin memasuki Awan Geminsir, Lalamak dipasang. Atau sewaktu Sai Batin keluar dari Awan Geminsir, Lalamak dibentangkan.

Perempuan pembawa Lalamak, Titi Kuya dan, Jambat Agung ditugaskan kepada nabbai ni sekedau tayuhan dipilih yang masih muda, lincah, sopan, dan penuh disiplin. Mereka harus bukan perempuan sembarangan.
Pada saat kaki Sai Batin menginjak, para pemegang wajib tetap memegang alat tersebut, dilarang ditarik sebelum kaki Sai Batin lewat. Karena salah satu tanda kebesaran dan keagungan Sai Batin terletak pada saat kakinya menginjak lalamak. Setelah kaki Sai Batin lewat (ngejapang) baru diangkat dan dibawa berpindah ke posisi berikutnya.

Penattap Imbukh Tongkat Sangga Baya
Tongkat Sangga Baya dikenal sebagai Penattap Imbukh. Di Kepaksian Pernong tidak dikenal Penattap Imbukh Jukkuan. Tongkat Sangga Baya ini berfungsi sebagai penujuk arah perjalanan. Tongkat ini salah satu tanda kebesaran Sai Batin dan hanya dipakai dalam prosesi arak-arakan Paksi. Hanya Sai Batin yang boleh menggunakan Penattap Imbukh karena alat kebesaran ini mempunyai sejarah panjang yang sangat khusus.

Alat dan Peralatan di Rumah Upacara Nayuh
Kehadiran Sai Batin dalam Tayuhan Jukkuan Paksi pada saat Upacara Penattahan Adok merupakan kehormatan dan penghargaan bagi Jukkuan. Apabila Sai Batin hadir, selain alat-alat prosesi adat juga disiapkan alat dan perlengkapan di rumah atau lokasi Upacara Tayuhan.
Alat-alat yang disiapkan di rumah itu antara lain :
(1) Laluhukh Bejutai;
(2) Kelambu sekurang-kurangnya 5 lapis sampai tak terbatas;
(3) Kasur sekurang-kurangnya 5 taka (lapis) sampai tak terbatas;
(4) Battal Agung atau bantal besar sebanyak 10-12 buah;
(5) Lalangsi minimal 5 buah;
(6) Lappit Pesikhihan sebanyak 2 lembar.

Caccanan
Caccanan atau alat pegang-pakai. Caccanan ni Jukkuan Paksi, alat pegang-pakai yang dianugerahkan oleh Sai Batin kepada Jukkuan Paksi. Setiap Jukkuan Paksi mendapat kehormatan untuk naccan (memegang – memakai) alat kebesaran Sai Batin. Penyerahan alat kebesaran Sai Batin tersebut bukan atas dasar senang tidak senang; atau besar kecilnya Jukkuan. Caccanan tersebut ditugaskan kepada Jukkuan untuk dipegangpakai pada saat upacara adat, didasarkan pada pertimbangan :
(1) Aspek historis Jukkuan;
(2) Jasa Jukkuan terhadap Kepaksian Pernong dan Sai Batin terdahulu;
(3) Alat-alat tertentu, seperti Tanduan, dipegang oleh Jukkuan yang masih mempunyai kedekatan hubungan darah dengan Sai Batin.
H. Ibnu Hadjar gelar Raja Sempurna menggarisbawahi pentingnya penelitian lanjut perihal Caccanan Ni Jukkuan Paksi agar diperoleh gambaran yang jelas tentang distribusi caccanan ini kepada yang berhak.
Pangeran Edward sendiri menengarai, alat-alat kebesaran Sai Batin dipegang atau dipakai oleh orang-orang yang secara turun temurun bertugas memegang atau memakai alat tersebut. “Bagi mereka ini kebanggaan dan kehormatan, bahkan merupakan bagian dari identitas diri mereka. Tugas ini mereka emban dan pertahankan sebaik-baiknya. Mereka pantang menyerah menjalankan tugasnya. Mereka mempertaruhkan kehormatannya untuk setia mengemban tugas tersebut,” papar Pangeran Edward.
Pangeran Edward bersama tua-tua Jukku dan sesepuh adat Paksi Pak Buay Pernong Sekala Beghak telah menelusur problem dalam masalah Jukkuan Penyaccan alat kebesaran Sai Batin. Hasil kajian atas data dan tuturan para tetua adat itu kemudian oleh Pangeran Edward gelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi dirumuskan dalam Surat Keputusan Sai Batin Nomor 229/SK/IX/91 tanggal 20 September 1991 tentang Penetapan Urut-urutan Alat Kebesaran Sai Batin dan Pemegangnya di Lingkungan Kepaksian Pernong, Paksi Pak Sekala Beghak.
Tahun 2006, telah diterbiktan Surat Keputusan Sai Batin yang baru mengenai hal-hal yang berkait dengan arak-arak (prosesi) adat (Sai Batin Lapah). Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut :
Di antara alat dan peralatan yang nantinya terlibat dalam arak-arak prosesi adat (Sai Batin Lapah) menurut SK 1991 tersebut adalah :
1. Pedang Pangeran Ringgau, yang menunjukkan kebesaran dan kemahsyuran Pangeran Ringgau pada zamannya.
2. Penattap Imbukh, dengan cicca-nya (motto) yang terkenal: Kumaw Nginum Khan Demi Sai Batin. Sejak dulu Jukkuan Kagungan Batin Pekon Awi selalu setia kepada Sai Batin dan rela menyabung nyawa untuk Sai Batin.
3. Sepasang Pedang Naga
4. Empat pedang tercabut sebagai pengawal terdekat Sai Batin saat prosesi adat.
5. Empat tombak tercabut sebagai pengawal Sai Batin saat prosesi.
6. Tombak pendek sebanyak 6 bilah.
7. Tombak panjang sebanyak 2 buah
8. Pedang dan tombak Sandang Mardeheka
9. Pedang tidak tercabut sebanyak 24 bilah.
10. Tombak tidak tercabut sebanyak 24 bilah
11. Pepanji sebanyak 12 lembar ditambah dengan Pepanji lama sebanyak 24 lembar.
12. Sepasang trisula.
13. Gamolan (gamelan) dan Hadrah (tim rebana)
14. Kekhis Penggawa 1 bilah
15. Pedang Penggawa 1 bilah
16. Awan Geminsir
17. Payung Agung 2 buah
18. Payung Songsong Kuning (diiring tongkat dan pedang Pangeran Ringgau)
19. Payung Khenoh 2 buah
20. Lampit Pesikhihan 2 lembar
21. Lelamak 6 – 8 lembar dengan Titi Kuya dan Jambat Agung
22. Tim Tari Pedang Semang Begayut
23. Dielu-elukan oleh Terakot-Kekati sebanyak 72 penari (Terakot : 24 perempuan penari kipas; 12 gadis penari pedang; 12 pemuda penari pedang; dan Keketi : 24 gadis penari tanpa kipas).

Busana
Sebagaimana dalam masyarakat adat, Kepaksian Pernong juga membuat pengaturan mengenai pakaian adat. Pakaian adat kebesaran Sai Batin dan Ratu telah diatur dengan jelas dan turun temurun serta disesuaikan dengan perkembangan zaman. Demikian pula busana adat para Raja Jukkuan dan peringkat kedudukan seterusnya hingga posisi terbawah, termasuk busana masyarakat adat. Meski demikian, di antara pakaian-pakaian utama itu, sejumlah kreasi dapat saja dilakukan oleh pemakainya. Seperti ketika ditanyakan perihal ekor dalam tukkus (kopiah – penutup kepala) yang dikenakan para Raja Jukkuan yang berbeda-beda bentuknya, Pangeran Edward hanya tersenyum dan menjawab, “Yang begitu itu aksi mereka, kreasi saja. Yang penting, prinsip dasarnya tidak dilanggar.”
1. Baju Jas
Baju adat berupa Jas (laki-laki) berupa jas tutup dengan kancing khusus. Warna kain hitam atau biru tua coklat tua. Semua masyarakat adat dapat menggunakan busana adat jas tutup ini. Beda penggunaan karena kedudukan (jenjang gelar) ditandai pada tukkus (penutup kepala) dan lipatan kain sarung yang dibalutkan di pinggang secara serong, bagian lipatan lancip di sisi pinggang hingga pertengahan paha.
2. Serong Gantung dan Sarung Gantung
2.1 Serong Gantung di Kiri : mutlak hanya dikenakan oleh Sai Batin atau anak tertua laki-laki dari Sai Batin (putra mahkota). Dalam satu generasi Sai Batin hanya ada seorang yang mengenakan busana adat dengan kain serong gantung kiri.
2.2 Serong Gantung Kanan : sebenarnya pengenaan kain serong gantung kanan hanya diperuntukkan bagi masyarakat adat bergelar Raja dan Batin. Sampai saat ini, semua lapisan masyarakat adat menggunakan serong gantung kanan. Untuk itu, kini telah diterbitkan ketentuan penggunaan kain serong gantung kanan sebagai berikut:
2.3.1 Serong Gantung Kanan: sarung yang dipakai ujung sarung bagian bawah dinaikkan sedikit serong ke kanan tetapi tidak terlalu tinggi. Sarung gantung kanan ini dikenakan mereka yang bergelar Radin, Minak, Kemas, dan Mas.
2.3.2 Serong Babakh Atung : sarung yang dikenakan setengah tiang, bagian bawahnya lurus dengan posisi sedikit di bawah lutut. Sama persis dengan sarung gantung Melayu. Pemakainya seluruh masyarakat adat Kepaksian Pernong yang belum mendapat anugerah gelar dari Sai Batin. Kain ini biasanya berupa kain tapis, kain tradisional adat Lampung. Sering pula disebut sebagai kain buppak.
3. Tukkus
Tukkus adalah penutup kepala semacam kopiah, yang bentuknya khas Lampung. Terbuat dari kain songket. Dijahit dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai gajah bergaya – berlagak dengan belalainya. (Menyungsung Roma).
Dalam busana adat Kepaksian Pernong ada dua macam tukkus.
(1) Tukkus dengan “belalai dan tidak berekor”. Tukkus ini mutlak hanya dipakai oleh Sai Batin.
(2) Tukkus “berbelalai sekaligus berekor” yang dipakai oleh mereka yang beradok Raja dan Batin. Bentuk belalai dan ekor, bisa dikreasikan seindah mungkin.
Anggota masyarakat adat yang bergelar Radin ke bewah serta mereka yang belum mendapatkan anugerah gelar dari Sai Batin, cukup mengenakan kopiah biasa. Namun, apabila mereka ini mendapat tugas khusus, misalnya membacakan penattahan adok (SK penganugerahan gelar), yang bersangkutan atas perintah Sai Batin dapat saja mengenakan takkus.
Upacara dalam Kesatuan Proses Kehidupan
Upacara adat dalam masyarakat Sai Batin Kepaksian Pernong, tidak terpisahkan dengan proses kehidupan sehari-hari. Artinya, upacara selalu terkait dengan tahapan-tahapan kehidupan. Tidak dijumpai upacara yang berkait dengan hari-hari peringatan tertentu, hari-hari besar tertentu. Upacara adat terkait kehamilan, kelahiran, khitan, pernikahan, dan kematian. Upacara pemberian gelar pun kebanyakan dikaitkan dengan perhelatan suatu keluarga dalam koordinasi para Kepala Jukkuan. Apabila Sultan dan Ratu datang langsung atau mengirim utusan, maka akan ada upacara penyambutan melalui tradisi penghormatan tertentu. Semua upacara itu telah memiliki baku tatacara yang lengkap.

Penattahan Adok dan Nayuh
Salah satu upacara yang cukup penting dalam masyarakat adat Kepaksian Pernong adalah Upacara Pemberian Gelar atau Penattahan Adok. Proses Penattahan Adok dilaksanakan bersamaan dengan berlangsungnya sebuah pesta perkawinan (nayuh) yang diselenggarakan oleh salah satu Jukkuan dalam Kepaksian Pernong. Prosesi puncak berada di tengah acara resmi nayuh dan disaksikan oleh para Raja Kepala Jukku dari Jukkuan Kappung Batin maupun Jukkuan lain dalam Kepaksian Pernong. Kehadiran Sai Batin dalam Penattahan Adok ini sangat diharapkan, baik oleh yang sedang punya hajat nayuh maupun masyarakat adat Kepaksian Pernong. Kehadiran Sai Batin di tengah mereka dianggap sebagai anugerah.

Urutan acara pada Upacara Penattahan Adok, Pangeran Edward menyebut secara garis besar:
(1) Pembacaan Surat Keputusan Sai Batin yang berisi ketetapan gelar dibacakan oleh Pemapah Dalom atau salah seorang Raja Jukkuan Kappung Batin yang ditunjuk. Dilanjutkan pembacaan nama dan gelar yang akan dianugerahkan.
(2) Petugas Penattah membaca nama dan gelar yang diberikan disertai Penabuh Canang, yang bertugas memukul canang pada saat-saat tertentu dalam rangkaian pengumuman nama dan gelar.
Mereka ini terus didampingi Pembaca SK Sai Batin dan seorang Raja Jukkuan dari dusun yang sedang menyelenggarakan Tayuhan sebagai saksi.
Petugas Penattahan Adok ini berpakaian adat lengkap: tukkus, jas tutup, serong gantung kanan, kain buppak, dan keris serta seperangkat canang.
Tata urutan Penattahan Adok secara garis besar adalah sebagai berikut: Petugas Penattahan Adok menghadap Sai Batin atau yang mewakili untuk minta izin dan perkenan guna mulai menjalankan tugasnya. Petugas duduk dengan posisi Hejong Sumbah, duduk di atas dua kaki yang dilipat di belakang sedangkan badan berada di atas kaki kiri, bukan di atas lantai.
Setelah duduk, petugas terlebih dahulu meletakkan keris pusaka yang dibawanya, letak pangkal (tangkai) keris ke arah Sai Batin. Setelah meletakkan keris, petugas baru melakukan penghormatan kepada Sai Batin dengan mengangkat ke atas kepala kedua belah telapak tangan dirapatkan/ditangkupkan. Selesai menghaturkan sembah. petugas penattah menyampaikan maksudnya dan melaporkan tugasnya. Setelah mendapat jawaban dan perintah Sai Batin, petugas kembali memberi sembah. Petugas penattah adok segera menuju tempat upacara.
Canang dipukul. Petugas penattah mulai berbicara di depan hadirin. Ia menyampaikan salam kepada Sai Batin dan hadirin dengan bahasa yang khusus. (Butattah). Materi yang harus disampaikan dalam butattah :
(1) salam dan tangguhan atau alasan keberadaannya selaku petugas petattah;
(2) kilas balik sejarah kebesaran Kepaksian Pernong Paksi Pak Sekala Beghak dalam memimpin warga dan kabuayannya;
(3) memperkenalkan Jukkuan yang mengadakan hajatan dan figur para calon penerima gelar;
(4) pelaksanaan pemberian gelar disertai harapan agar adok yang diberikan selalu dipakai dalam penyebutan hari-hari berikutnya;
(5) salam dan pamit kepada Sai Batin dan hadirin. Selesai langsung kembali menghadap Sai Batin, menghatur sembah, melapor bahwa telah selesai menjalankan tugas, dan setelah mendapat perkenan Sai Batin petugas kembali ke tempat semula. Proses Pentattahan Adok berakhir. Dilanjutkan acara lain-lain.

Urutan Prosesi
Adat tradisi proses penyambutan Sai Batin dalam Tayuhan Jukkuan telah turun temurun dilakukan. Telah pula terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Terakhir, Sai Batin telah menetapkan urutan prosesi secara lengkap sebagai berikut :
Seperti halnya Penyambutan Sai Batin pada Tayuhan Jukkuan Gemutukh Agung Kageringan, pada tanggal 7 Oktober 2003. Sai Batin Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi memerintahkan pada Jumat, 3 Oktober 2003 bahwa urutan upacara tersebut ditentukan urutan-urutannya. Raja Sempurna dan Raja Mega menerima perintah dimaksud. Dalam catatan Raja Sempurna, prosesi arak-arakan meliputi :
1. Sai Batin menunjuk Raja Alamsyah II Suka Rajin Kageringan sebagai Pepatih Arak-arakan.
2. Urutan Arak-arakan :
2.1 Sebelum Sai Batin tiba di lokasi, seluruh yang terlibat harus sudah siap di lokasi.
2.2 Saat Sai Batin tiba di lokasi disambut oleh :
2.2.1 Pepatih Arak-arakan
2.2.2 Payung Songsong Kuning dipegang oleh Jukkuan Kekhatun
2.2.3 Pembawa Pedang, 4 bilah.
2.2.4 Pembawa Tombak, 4 bilah
2.2.5 Kebayan
Payung Songsong Kuning, Parajurit Pedang, Prajurit Tombak, Pepatih Arak-arakan dan Kabayan mengiring Sai Batin dari sejak turun dari mobil hingga masuk ke Awan Geminsir.
Di kiri kanan Awan Geminsir telah berbaris Mulli Meranai Margaan mendampingi Mulli Batin seluruh Jukkuan Marga.
2.3 Sai Batin memasuki Awan Geminsir
Alat kebesaran Sai Batin semua berada di posisi masing-masing. Kabayan, Mulli Batin Jukkuan berikut Mulli Meranai lainnya serta Babbay berjalan mengikuti Awan Geminsir.
2.4 Setelah dilaksanakan Tari Pedang Samang Begayut. Arak-arakan bergerak berjalan. Sai Batin berjalan dalam Awan Gemisir tanpa Lalamak
2.5 Sambil terus berjalan, prosesi menyajikan gerak tarian, bunyi-bunyian yang meliputi : (1) Terakot – Kekakti; (2) Pencak Silat; (3) Gamelan ditabuh; (4) Hadrah (rebana) dimainkan; (5) Muli Meranai dan Babbay Pantun.
2.6 Di titik tempat yang ditetapkan, arak-arakan berhenti. Disajikan Tarian Pedang Semang Begayut, para pemikul mengangkat tinggi-tinggi Awan Gemisir dan Sai Batin keluar dari dalamnya. Langsung Sai Batin berjalan di atas Lalamak yang disediakan khusus baginya. Sai Batin berjalan di atas Lalamak sampai dengan Kelasa. Pada saat itu, Sai Batin diiring oleh :
(1) 4 prajurit berpedang;
(2) 4 prajurit bertombak;
(3) payung songsong kuning;
(4) Kebayan.
2.7 Perangkat Arak-arakan dikumpulkan di satu tempat. Bujang Gadis dan Babbai Buar menuju tempat yang disediakan.
2.8 Pada saat Sai Batin keluar dari Awan Geminsir, melewati Lalamak, menuju Kalasa disambut oleh barisan Raja-raja Jukkuan Marga berpakaian adat kebesaran dan memberi salam adat. Salam adat, kedua telapak tangan diangkat bersama di atas kening. Sai Batin membalas dengan meletakkan telapak tangan kanan di dadanya. Jadi, tidak bersalaman. Di ujung barisan Raja-raja Jukkuan berdiri para Haji dari seluruh Marga berpakaian gamis.
2.9 Sai Batin memasuki Kelasa. Tetap diiring Payung Songsong Kuning dan pengawalnya sampai di tempat duduk. Payung dan Pengawal berposisi di belakang Sai Batin duduk.
2.10 Setelah Sai Batin duduk di Kelasa, seluruh hadirin duduk. Acara siap dimulai. Diawali Tangguhan kepada Sai Batin oleh yang mewakili Jukkuan Gemuttukh Agung. Setelah selesai Tangguhan, acara resmi dimulai dipandu oleh Pembawa Acara.
Seterusnya, acara penattahan berlangsung.

Biasanya juga dapat ditambah dengan barisan kehormatan berjumlah 48 orang (24 laki-laki dan 24 perempuan) memakai pakaian teluk belanga, sarung gantung ala Melayu dilengkapi dengan selempang khusus, ikat kepala merah, ikat pinggang warna merah. Pria mengenakan topi model Topi Belulang dilengkapi perisai dari rotan.

Pusaka-pusaka Istana dan Pusaka Pribadi
Suatu ketika, Pangeran Edward memperlihatkan sebuah tongkat komando yang cukup panjang. Sekitar 60 cm. Terbuat dari kayu dan terlihat coklat tua mengkilap. Sebagaimana layaknya tongkat komando, memanjang lebih besar sedikit dari ibu jari tangan orang dewasa. Tampak seperti tongkat komando biasa. Tetapi ketika diperhatikan dengan seksama, di sepanjang permukaan tongkat komando terdapat goresan-goresan lembut yang berupa tulisan dalam huruf dan bahasa Lampung. Untuk membacanya, perlu dibersihkan dengan cara dilap menggunakan kain halus secara perlahan dan terus menerus. Setelah itu, ke atas permukaannya diusap-usapkan tepung beras putih. Setelah merata pada bagian yang terdapat lekukan garis huruf akan terisi tepung halus dan permukaan tanpa lekukan akan tetap coklat. Karenanya guratan dan goresan huruf itu bisa terbaca. Konon, berisi pesan-pesan penting dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin. Tongkat ini peninggalan para Sai Batin terdahulu dan tersimpan dengan baik sampai saat ini.
Disamping keris Istinjak Darah, seperti telah diceritakan pada bagian terdahulu, Kepaksian Pernong juga memiliki begitu banyak keris, tombak, dan pedang. Dalam ingatan Pangeran Edward, disamping sejumlah keris pusaka yang tersimpan rapih, kakeknya pernah memperlihatkan begitu banyak keris tanpa penutup, tanpa tangkai pegangan. Besi-besi keris itu teronggok begitu saja di kotak-kotak kayu. Pangeran Edward kemudian membersihkan dan memperbaiki, melengkapi keris-keris itu. Kini, sebagian dari keris itu sudah diberi sarung dan tangkai yang bagus. Beberapa di antaranya telah dianugerahkan kepada sejumlah Raja Jukkuan, para Penggawa dan orang-orang yang dipandang pantas.
Pangeran Edward sendiri menerima warisan keris pusaka keluarga turun temurun. Semuanya memiliki keelokan dan keindahannya sebagai karya seni budaya bangsa yang sangat tinggi. Semua dipelihara dengan baik oleh Pangeran Edward. Ada keris yang diberi nama Surya Penantang, keris yang berkali-kali dibawa Pangeran Edward ke berbagai kesempatan. “Kami bukan mencari-cari tuah keris. Kami hanya menyimpan dan memeliharanya sebagai simbol warisan nenek moyang. Harta budaya yang tak ternilai harganya,” katanya tentang keris-keris utamanya.

Baca Selengkapnya...

Gedung Dalom


Seperti layaknya sebuah kerajaan, Kepaksian Pernong juga memiliki istana yang sering disebut Lamban Gedung. Istana itu menempati pekarangan yang tidak terlalu luas, nyaris sama ukurannya dengan rumah-rumah di sekitarnya. Bentuk bangunannya pun tidak mencolok perbedaannya dengan arsitektur rumah adat setempat. Ini menjadi pertanda, bahwa Sai Batin begitu dekat dengan rakyatnya. Istananya pun tanpa pagar tembok pembatas yang menghalangi pemandangan orang dari luar.

Lamban Gedung Kepaksian Pernong memang punya banyak kelebihan dibanding rumah warga kebanyakan meski sekilas tidak jauh beda. Namun apabila dicermati, rumah panggung adat dari kayu itu banyak hal istimewa. Istana itu berbentuk persegi empat. Disangga dengan 36 tiang kayu berukuran besar, satu peluk tangan manusia dewasa. Diumpak di permukaan tanah, berjajar lurus baik secara garis lurus silang maupun diagonal. Belah-belah simetris antar tiang dalam garis tegak lurus maupun dalam garis sudut diagonal mengambarkan sebuah jalinan kokoh menyangga bangunan rumah di atasnya.

Demikian pula gelagar kayu utuh yang menghubungkan akan tiang sebagai penyangga lantai rumah juga sedemikian kokohnya, sambung menyambung saling “menggigit” menjadi tempat pilar dan papan lantai rumah disemayamkan, tempat menancap rapih tiang-tiang rumah penyangga kerangka atas dan atap. Kayu-kayu rangka rumah yang besar, kokoh, dan rapi membuat rumah tampak meyakinkan kekuatannya. “Waktu ada gempa, tiang yang disangga beton semen malah ambles, sementara yang disangga umpak tradisional, selamat,” kata warga setempat bercerita perihal umpak tiang di permukaan tanah.
Lamban Gedung berdinding kayu dengan jendela-jendela lebar, beratapkan s
eng dan tajuk atap memperlihatkan arah ke bentuk joglo yang mengerucut di bubungan atapnya menyatu pada kesatuan puncak. Di puncak atap bertengger mahkota dari kuningan berbentuk khas. Bagian depan terdapat replika atas rumah induk dalam ukuran kecil sebagai peneduh tangga masuk satu arah untuk kemudian menjadi dua arah masuk ke tataran lantai. Teras rumah ada di sisi kiri dan kanan pada lantai panggung, dibatasi dengan pagar ritmis kayu berukir pula. Pintu masuk ada di tengah dan kanan serta kiri.
Kayu yang melekat pada rangkaian rangka rumah bagian dalam dan luar, diukir dengan aneka ragam jenis ukiran. Beberapa ragam ukir di antaranya khas Lampung dengan sulur dan garis tanpa tatahan miring. Sejumlah ukiran di dinding luar atas dan tiang sangga di kolong rumah memperlihatkan ukiran kuno yang langka. Sementara itu pola ukel dan lengkung relung, mirip ukiran dari etnis lainnya di Nusantara. Tiang sangga di sisi-sisi luar, pada bagian tiang sebelah atas diberi asesoris semacam cukit atau siku penyangga atap luar. Biasanya berfungsi juga sebagai penyangga emper rumah. Namun, di Lamban Gedung juluran itu tidak menyangga apa-apa, hanya menjadi penghias bagaikan deformasi belalai gajah.

Bagian dalam Lamban Gedung, terdapat satu ruang besar disisi kiri belakang sebagai tempat Sai Batin beristirahat disebut Bilik Kebik. Tak ada yang masuk ke ruang itu kecuali Sai Batin dan Permaisuri atau kerabat yang diizinkan oleh Sai Batin. Di dalam ruangan itu, terdapat pula sejumlah senjata pusaka yang hanya Sai Batin atau Sultan yang berani memindah atau membukanya. Bahkan sewaktu dilakukan renovasi atas atap dan ruangan, senjata pusaka itu tetap pada tempatnya.
Di depan pintu Bilik Kebik terdapat pelaminan atau singgasana yang disebut margasana. Alas duduk Sai Batin terdiri atas kasur berlapis-lapis, hiasan dinding, dan langit-langit yang terbuat dari kain beludru warna warni dan manik-manik yang disebut Lelukukh Juttai. Jika Sai Batin memimpin sidang (hippun paksi) akan duduk di situ menghadap ke barat di mana seluruh raja jukkuan duduk bersila menghadap Sai Batin. Hanya Sai Batin dan Raja Jukkuan yang boleh duduk di tempat ini pada saat hippun paksi. Lantai Lamban Gedung ini ada dua trap, pada bagian depan dekat pintu masuk letak lantai lebih rendah sekitar sejengkal. Dalam acara tradisi, lantai rumah ini tanpa kursi, seluruh tamu duduk di bawah di atas karpet atau tikar. Begitupun apabila mereka mendapat jamuan makan dari Sai Batin, maka seluruhanya “lesehan”.
Selebihnya, ruangan dalam itu tanpa pembatas dan lantai kayu yang coklat telah dilapisi karpet merah. Seluruh permukaan tiang kayu ruang dalam, seluruh pilar dan belandar yang sambung sinambung dilekati lempeng kayu berukir tanpa dicat, berkesan alami dan dekat dengan suasana sekitar yang serba kayu dan alam masih rimbun menghijau. Dinding tampak coklat tua, tanda kayu tua dan terawat. Sejumlah ukiran memperlihatkan simbol-simbol tertentu namun belum ada yang mencoba untuk membacanya. Saat ini, ruang dalam Lamban Gedung diberi plafon langit-langit dari kayu dengan lekuk dan tataan baris potongan kayu, rapih dan lurus seperti di rumah moderen dimana pada setiap kotak lengkung dipasang satu buah piting lampu listrik. Langit-langit terplafon itu menjadi penutup konstruksi kayu pada kap atap selepas kait-mengkaitnya antar kayu, semenjak dari lantai sampai bagian ring menjelang rangka atap.
Di halaman rumah sisi kiri terdapat sebuah bangunan dengan atap melingkar mengerucut, seluruh 8 tiang kecil berdiri pada disi tepi bangunan melingkar pesegi delapan itu. Lantainya berpembatas dan tak ada tiang di tengah. Rumah itu berfungsi sebagai tempat para penggawa yang sedang berdinas dan berjaga. Tempat itu disebut gardu. Di situlah dulu para tamu Sai Batin menyampaikan kepada penggawa tentang maksud kedatangannya.
Lamban Gedung adalah salah satu tanda kebesaran Kepaksian Pernong karena rumah ini diwariskan dari para pendahulu dan terus terawat hingga sekarang. Bahkan diceritakan bahwa letak Lamban Gedung pada awalnya sejauh sekitar 15 kilometer dari tempat sekarang berdiri di Batu Brak. Konon, pada waktu memindahkan, rumah itu tidak dicopot atau dibongkar dulu melainkan diangkat ramai-ramai dan dibawa perlahan-pelahan menuju lokasi sekarang. Gempa dan kebakaran pernah menimpa Lamban Gedung, sejumlah kerusakan pernah dialami. Namun Sai Batin dan masyarakatnya terus melestarikannya.
Di dalam Lamban Gedung itu banyak hal telah terjadi. Pangeran Suhaimi dan Pangeran Maulana Balyan karena keaktifannya di pemerintahan menjadi pegawai Republik Indonesia, maka tidak lagi banyak tinggal di Lamban Gedung. Meski demikian mereka tetap merawat Lamban Gedung tanpa menempatkan orang khusus untuk itu, karena masyarakat sekitar sudah dengan sendirinya merawatnya. Bagian belakang Lamban Gedung kini juga didirikan bangunan baru yang terpisah dan disatukan dengan Lamban Gedung. Dulu antara rumah belakang dan Lamban Gedung tersela sebuah halaman terbuka. Di sisi kanan belakang dibangun ruangan dapur. Dulu di belakang dapur ini terdapat lumbung bahan pangan.
Lamban Gedung yang terletak di Batu Brak, persis di sisi utara jalan menuju ke arah Liwa dari lintas tengah Bandar Lampung – Liwa. Daerah ini berhawa sejuk karena berada di pegunungan lereng Gunung Pesagi. Pada sisi timur Lamban Gedung terdapat sebuah pemakaman para isteri atau permaisuri serta sejumlah Sultan Kepaksian Pernong.


Pada bagian bawah lagi, di tepi sebuah tebing curam dengan mata air jernih sepanjang tahun, terdapat makam tua yang dikabarkan sebagai makam Umpu Selalau Sangun Guru, raja keempat Kepaksian Pernong bersama sejumlah makam lainnya yang ditandai tonggak-tonggak nisan. Pohon rindang meneduhi dan tempat yang terlindung dalam rimbunan semak dengan jalan setapak ke lokasi itu. Makam utama ditandai dengan batu nisan dengan batu krast/kapur keras dengan bentuk dan goresan yang perlu pembacaan lebih lanjut. Goresan itu berupa garis yang sambung dan melintang seperti menyimbulkan sesuatu. Sangat mungkin, goresan itu merupakan deformasi bentuk huruf Lampung yang konon diciptakan oleh para pendiri Paksi Pak Sekala Beghak. Rupanya, banyak hal yang masih harus dibaca dari simbol-simbol kebesaran Kepaksian Pernong.

Baca Selengkapnya...

Gelar Dalam Kepaksian Pernong


Sumber lisan di Kapaksian Pernong dan juga keterangan tertulis serba ringkas mengenai gelar kebangsawanan dan gelar dalam fungsi adat telah diuraikan Sai Batin, pucuk pimpinan adat Paksi Pak Sekala Beghak.

Dalam adat Paksi Pak Buay Pernong, ada beberapa tingkatan gelar atau adok. Seluruh adok adalah mutlak anugerah dari Sai Batin. Anugerah diberikan atas dasar keturunan (nasab-silsilah) maupun karena jasa besarnya kepada Sai Batin atau Kepaksian Pernong.
Dalam adat Paksi Buay Pernong, gelar adat dalam berbagai tingkatan tidak “diperjualbelikan” melalui cara dan dengan alasan apapun. Kalaupun ada gelar yang dianugerahkan, merupakan mutlak hak prerogatif Sai Batin.
Meski demikian, sebenarnya Sai Batin mengambil keputusan bukan tanpa dasar dan menutup diri dari aspirasi bawah. Para Kepala Jukku berkewajiban menyusun akkat tindih (tingkatan) status anak buah yang akan diberi gelar. Akkat tindih itu kemudian dimusyawarahkan dengan Raja-raja Kappung Batin. Pengusulan pakkal ni adok ini harus menimbang gelar dari ayahnya (lulus kawai); cakak adok (naik tingkatan gelar) dan adanya pemekaran Jukkuan.
Hasil musyawarah diserahkan kepada Sai Batin melalui Pemapah Dalom /Pemapah Paksi untuk dimintakan persetujuan.
Apapun keputusan Sai Batin itulah yang harus diterima.
Dalam adat Kepaksian Pernong, gelar terdiri dari dua atau lebih suku kata yang berpedoman pada Pakkal Ni Adok dan pada Uccuk Ni Adok. Pakkal (pangkal) dari gelar merupakan kata inti dari gelar yang menunjukkan status atau tingkat kedudukan seseorang dalam Tatanan Adat Kepaksian Pernong.
Contohnya, gelar-gelar : Raja, Batin, Radin dan seterusnya. Sedangkan Uccuk (ujung) dari gelar menunjukkan identitas keturunan atau Jukkuan yang bersangkutan. Misalnya : Raja Batin II, artinya berasal dari Jukkuan Lamban Bandung.
Gelar Sultan hanya untuk Sai Batin. Melekat pula pada gelar Sultan adalah Pangeran dan Dalom. Permaisuri Sai Batin, bergelar Ratu. Dalam stratifikasi gelar yang berkait dengan jabatan (struktur) adat dalam masyarakat berturut-turut sebagai berikut :


SULTAN

RAJA

BATIN

RADIN

MINAK

KEMAS

MAS

Gelar tersebut berkaitan dengan status dan kedudukan yang bersangkutan dalam strata kehidupan masyarakat adat Paksi Buay Pernong. Gelar dapat memperlihatkan kedudukannya dalam masyarakat adat dimana ia tinggal. Seorang bergelar Raja, dia mempunyai anak buah yang tertata dalam suatu kelompok masyarakat adat yang disebut Jukku. Raja membawahi beberapa Batin, Radin, Minak, Kimas, Mas, dan seterusnya. Pada jalur perempuan, gelar itu setelah Ratu, adalah Batin-Radin-Minak-Mas-Itton.
Hanya, ada sedikit perbedaan gelar Raja dan gelar-gelar lain yang diberikan kepada keluarga Sai Batin yang tertata dalam Papateh Lamban Gedung, semacam “Sekretariat Negara”. Mereka ini memperoleh gelar karena adanya hubungan darah dengan Sai Batin. Karenanya, tidak membawahi langsung gelar-gelar dibawahnya. Sultan dalam menjalankan fungsinya dibantu oleh Pemapah Dalom, semacam perdana menteri, yang biasanya diangkat dari salah seorang paman atau adik Sultan. Para Pemapah Dalom/Pemapah Paksi bergelar Raja.
Gelar Raja oleh Sai Batin juga dianugerahkan kepada, Kepala Jukku; Putera Kedua Sai Batin; dan Menantu Tertua Laki-laki dari Sai Batin. Kepada menantu perempuan tertua memperoleh gelar Tidak Tudau atau Matudau (anak puteri mengikuti suaminya).
Masyarakat adat terkelompok dalam struktur sebagai berikut:
Jukku dipimpin Kepala Jukku bergelar Raja
Sumbai dipimpin Kepala Sumbai bergelar Batin
Kebu dipimpin Kepala Kebu bergelar Radin
Lamban (Keluarga) dipimpin Kepala Keluarga
atau Ghagah.

Baca Selengkapnya...

Sekala Beghak



Sekala Beghak (biasa ditulis Skala Brak), adalah kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannya. Kawasan ini boleh dibilang kawasan yang “sudah hidup” sejak masa pra-sejarah. Batu-batu menhir mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada tanda kehidupan menyejarah.

Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).
Meski belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tulang Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Skala Beghak. Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak bukti lain, namun perlu pembahasan terpisah.

Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based) keber¬adaannya turun temurun tewarisi melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh kebudayaannya sampai saat ini.
Tata kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Beghak juga masih dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Sekala Beghak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Sekala Beghak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan. Keberadaan Sekala Beghak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan, telah diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan Skala Beghak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari Hindu ke Islam.
Bukti kemashuran Sekala Beghak dirunut melalui penuturan lisan turun-temurun dalam wewarah, tambo, dan dalung yang mempertegas keberadaan Lampung dalam peta peradaban dan kebudayaan Nusantara. Kata Lampung itu sendiri banyak yang menyebut berasal dari kata “anjak lampung” atau “yang berasal dari ketinggian”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa “orang Lampung” berasal dari lereng gunung (tempat yang tinggi), yang dalam hal ini Gunung Pesagi. Pendapat yang sama juga ditemukan dalam kronik perjalanan I Tsing. Disebutkan kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang bhiksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an. Ia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Dalam perjalanannya itu, kronik menulis I Tsing singgah di Sriwijaya pada tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat studi agama Budha di Sumatera, di antaranya selama dua bulan di Jambi dan setelah itu konon tinggal selama 10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam perjalanannya itu, I Tsing dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan “To Lang Pohwang”. Kata “To Lang Pohwang” merupakan bahasa Hokian, bahasa yang digunakan I Tsing.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Disebut-sebut berada di sekitar Menggala, ibukota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau artefaknya belum terlacak, garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat pewaris tradisi, dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan.
Tidak hanya dari sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih mendalam.
Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak lampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.

Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh; Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak Sekala Beghak. Pada periode selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala Beghak ini dapat dirunut dari kisah-kisah tentang kepergian mereka melalui sungai-sungai.
Bahkan, sebagian orang-orang Komering pun mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka diperkirakan keturunan Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke Komering untuk menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang telah runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau di Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang setelah kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka pindah ke Lampung Tengah.
Seperti dikutip Harian KOMPAS, (11 Desember 2006:36), pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatera Barat dipimpin Dipati Alam Padang. Sementara itu, tiga kelompok lainnya berasal dari Sekala Beghak. Tiga kelompok orang-orang Sekala Beghak itu dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Diway), menempati sisi timur danau. Di sisi timur danau pula, kelompok yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) menempat. Sementara kelompok yang dipimpin Umpu Sijadi Helau menempati sisi utara danau. Empu Sijadi Helau yang disebut-sebut itu bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay Pernong, yang menjadi pewaris tahta Buay Pernong. Kemungkinan besar Umpu Sijadi di daerah Ranau tersebut adalah keturunan Kepaksian Pernong yang meninggalkan Kepaksian dan mendirikan negeri baru di Tenumbang kemudian menjadi Marga Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang banyak orang Banding Agung mengaku keturunan Paksi Pak Sekala Beghak. Di samping itu, ada kisah-kisah perpindahan orang Sekala Beghak, sebagaimana ditulis dalam Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian, Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja Ngandum dan sebagainya. Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang diberikan kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas jasa-jasanya, dan banyak orang Sekala Beghak yang migrasi ke sana atau sebaliknya.
Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Beghak tidak hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur masyarakat. Sekala Beghak adalah hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari Sekala Beghak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara sendiri, yaitu Batak, Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis. Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai kebudayaan unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol kemajuan peradaban.
Semua aksara Nusantara tersebut berasal dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava digunakan di India dan Asia Tenggara. Di Nusantara bahasa ini mengalami penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk bahasa Nusantara. Dari bahasa Kawi menjadi bahasa : Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat Batak, Lampung/Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis.
Dari Kerajaan Sekala Beghak yang telah memiliki unsur-unsur “kebudayaan lengkap” ini pulalah “ideologi” Sai Batin dilahirkan dan disebarluaskan. Sampai saat ini, masih banyak yang bisa dibaca dari jejak-jejak yang tertinggal. Baik dari jejak fisik maupun jejak yang tidak kasat mata. Dari legenda, seni budaya, adat tata cara, bahasa lisan tulisan, artefak benda peninggalan, hingga falsafah hidup masih ada runut rujukannya. Dari Sekala Beghak itu di kemudian hari pengaruh budaya dan peradabannya berkembang dan berpengaruh luas ke seluruh Lampung bahkan sampai ke Komering di Sumatera Selatan sekarang. Tidak terhitung kemudian “pendukung budaya”-nya yang tersebar di seluruh Indonesia pada masa kini.

Baca Selengkapnya...

Asal-usul Orang-orang Sekala Beghak



Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia. Boleh jadi, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula. Sekala Beghak adalah kawasan di lereng Gunung Pesagi (2.262 m dpl), gunung tertinggi di Lampung. Kalau membaca peta daerah Lampung sekarang, Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat. Pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit. Di Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung. Dari daerah ini, mereka menyebar melalui sungai-sungai, di antaranya Way Komering, Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Umpu, Way Rarem, Way Besai dan sebagainya. Prasasti Bunuk Liwa menujuk angka 966 Saka (1074 M) menunjukkan adanya tata kehidupan zaman Hindu, yang memberi indikasi kuat bahwa di daerah tersebut pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu, mungkin Sriwijaya.
Sekala Beghak sebagai asal muasal “orang Lampung” diindikasikan dari banyak penelitian yang menjelaskan soal ini. Kajian para ahli Barat, seperti Groenevelt, L.C. Westernenk, dan Hellfich, umumnya mengarah pada persamaan pernyataan bahwa Sekala Beghak adalah daerah asal suku bangsa Lampung.
Menurut sumber-sumber setempat, Sekala Beghak pada mulanya dihuni masayarakat Tumi, kemungkinan besar sebuah suku bangsa yang memiliki struktur atau bahkan merupakan sebuah kerajaan. Meski data arkeologis yang kuat belum terkomunikasikan secara luas kepada publik, namun kelanjutan dari tradisi pemasangan batu menhir pada era megalith atau zaman-zaman sesudahnya, pola hidup mereka kemungkinan animisme dan dinamisme. Dalam fase ini, memuja alam yang dianggap punya kekuatan lebih besar dan menguasai hidup manusia, merupakan ritual dan kebiasaan hidup.
Merunut pada sejarah Nusantara, animisme dan dinamisme sebagai sebuah sistem religi merupakan kepercayaan awal masyarakat Nusantara. Kemudian datangnya agama Hindu dan Budha, secara berangsur mengubah keyakinan masyarakat animisme-dinamisme menjadi beragama Hindu-Budha. Tidak jelas benar kapan masyarakat Tumi berubah menjadi Hindu, bila dikaji dari temuan Prasasti Bunuk Liwa yang menujuk angka 966 Saka (1074). Prasasti itu sendiri sering disebut indikasi kuat pengaruh Hindu. Namun apakah Kerajaan Sriwijaya yang Hindu memiliki pengaruh kekuasaan sampai ke suku Tumi, mengingat tahun ditulisnya Prasasti Bunuk Liwa itu sejaman dengan periode Kerajaan Sriwijaya. Bila Sriwijaya memiliki pengaruh ke suku Tumi, apakah sistem religi animisme-dinamisme ikut hilang seiring pergantian keyakinan menjadi Hindu, ataukah keyakinan lama masih tetap berjalan di samping keyakinan baru. Dan juga apakah suku Tumi yang mungkin juga sebuah kerajaan, merupakan kerajaan berdaulat, atau vasal dari Kerajaan Sriwijaya. Alhasil semua pertanyaan itu perlu dijawab dengan melakukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.
Situs lain yang berada di Skala Brak adalah Batu Kenyangan. Peninggalan tersebut terletak di tengah perkebunan kopi pada sebuah lereng bukit kaki Gunung Pesagi, di Hanibung Batubrak. Konon menurut kepercayaan lama di Sekala Beghak, batu-batu itu sebagai tanda kuburan tua “para dewa” yang khusus turun dari Kahyangan ke muka bumi. Sampai sekarang orang menyebut daerah itu sebagai Batu Kenyangan.
Istilah “Kenyangan” atau kayangan dan kata “Batu Beghak” (Batu Brak) memiliki nuansa makna. Kayangan bermakna tempat yang tinggi, tempat tinggal para “dewa” atau orang-orang mulia, sedangkan Batu Beghak bermakna sebagai batu mulia. Diyakini oleh masyarakat sekitar, bahwa orang-orang Kenyangan dan Batu Brak adalah keturunan orang-orang mulia. Orang mulia dalam pengertian Paksi Pak Skala Beghak adalah para penakluk, mujahid penyebar agama Islam, keturunan Iskandar Zulkarnain.

Batu Kenyangan

Batu Kenyangan yang terletak di lereng agak datar, merupakan batu andesit dengan permukaan selebar sekitar 2 x 2 meter dengan ujung melancip, tidak empat persegi panjang betul. Posisi keseluruhan agak miring 20 derajat. Di bawah batu yang cenderung melempeng dengan permukaan lebih lebar ketimbang bagian bawah yang menyentuh tanah, ada sejumlah bongkah-bongkah batu tertanam di tanah untuk menopang batu besar itu.

Jika dilihat dari permukaan dan posisinya, batu hitam itu kemungkinan dipergunakan sebagai tempat samadi atau bertapa. Letak situs ini dikelilingi jurang curam di bagian sisi bawahnya sedangkan ke arah atas tanah terus mendaki.
Permukaan batu itu tidak begitu rata dan di sana-sini terlihat jelas guratan-guratan mirip bekas tapak tangan. Gambar yang mirip bekas telapak tangan itu bukan hasil pahatan. Menurut keyakinan masyarakat Skala Beghak, gambar tersebut terjadi akibat kekuatan tangan yang pernah menekan permukaan batu itu. Tangan siapakah itu? Dan apa hubungannya dengan mitos manusia yang turun dari Kahyangan? Hal ini memerlukan kajian lebih jauh.

Mungkin juga, batu ini dulu berada di tengah pemakaman kuno karena di dekatnya terdapat satu batu berdiri tegak setinggi sekitar 1,25 meter dengan puncak sedikit lengkung hampir rata, yang kemungkinan tanda titik pemakaman.
Bisa jadi juga batu tersebut merupakan tempat persembahan bagi mereka yang duduk samadi di permukaan batu di dekatnya. Apakah ini sebuah menhir? Mungkin juga batu andesit/vulkanik itu digunakan untuk menaruh persembahan tertentu. Permukaan batu telah membentuk suatu susunan bintik cekungan kecil-kecil seperti titik-titik yang meliputi seluruh permukaan. Seakan termakan air dan angin serta terpanggang panas matahari. Meski demikian tak berlumut, tanda batu keras. Tak ada pahatan ataupun relief di dalamnya. Namun posisinya masih tampak kuat tertanam. Konon, menurut sejumlah warga, batu tegak seperti itu dahulu tidak hanya satu, lebih dari satu. Herannya, di sekitar tonggak batu tegak lurus ditemukan dari dalam tanah potongan batu-batu yang lebih lunak, diperkirakan batuan kapur, krast atau hasil endapan laut purba, bukan batu gunung api.
Memang, di belakang lempeng batu bertulis tapak tangan itu, berseberangan dengan tonggak batu tegak, juga terdapat sebuah batu andesit rendah dengan permukaan yang tidak rata dan kasar. Dilihat dari warnanya, tampaknya batu ini berbeda usia dengan batu yang lainnya. Tampak lebih muda meskipun sama-sama batu vulkanik.
Sangat mungkin kawasan peninggalan kuno ini bagian tak terpisahkan dari cerita Suku Tumi yang mendiami kawasan Sekala Beghak jauh sebelum para Umpu bertabliq di daerah tersebut. Diceritakan, masyarakat Tumi menyembah pohon besar yang dianggap sebagai “sesuatu yang menguasai hidup mereka”, berkekuatan Dewa. Pohon itu mereka sebut sebagai pohon Belasa Kepappang. Pohon Belasa Kepappang itu bercabang dua, satu cabang pohon nangka dan satunya pohon kayu sebukau. Getah sebukau konon sangat beracun, bila terkena kulit tubuh akan bisa menjadi luka mengoreng. Cara menyembuhkannya, dioles getah pohon nangka (cabang yang satunya).
Riwayat yang bisa dirunut dari kerajaan Sekala Beghak, ialah mulai masa kepemimpinan Mucabaok. Sepeninggal Mucabaok tahta kerajaan diserahkan pada putranya, Sangkan. Sedang raja terakhir pengganti Sangkan adalah Sekekhummong. Sekekhummong inilah yang secara gigih melakukan perlawanan terhadap dakwah Islam di bawah pimpinan Ratu Ngegalang Paksi dan keempat putranya.
Hasil pembacaan para ahli atas peninggalan di kawasan tersebut tampaknya perlu diperluas agar didapatkan pemahaman yang konkrit atas legenda Sekala Beghak dan cerita lisan epik para mujahid pendiri Paksi Pak Sekala Beghak.
Baca Selengkapnya...