Lambang Paksi Buay Pernong

Lambang Paksi Buay Pernong
Kijang Melipit Tebing

Skala Brak, Asal Muasal Orang Lampung

Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia. Boleh jadi, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula. Sekala Beghak adalah kawasan di lereng Gunung Pesagi (2.262 m dpl), gunung tertinggi di Lampung. Kalau membaca peta daerah Lampung sekarang, Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat. Pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit. Di Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.

Pengelana Tiongkok, I Tsing, pernah menyinggahi tempat ini, dan ia menyebut daerah ini sebagai “To Lang Pohwang”. Kata To Lang Pohwang berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak ampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.

Rabu, 10 Desember 2008

Pangeran Ringgau


Makam Pangeran Ringgau di komplek makam tua

Pangeran Ringgau gelar Pangeran Batin Pasirah Purbajaya selain sebagai Sai Batin Kepaksian Pernong Sekala Beghak, beliau juga menjabat sebagai Pasirah Marga Kenyangan. Pangeran Ringgau menikah dengan putri dari Pangeran Ahmad Fikulun gelar Dipati Cakra Negara. Dipati Cakra Negara adalah pendiri kota Liwa. Ia juga seorang pengajar dan pendakwah yang gigih.


Pangeran Ringgau adalah tokoh legendaris bagi Kepaksian Pernong. Ia memiliki kepribadian yang unik. Ia berjuang dan melawan Belanda dengan caranya sendiri.

Beberapa sumber sejarah mencatat nama Pangeran Ringgau. Keberadaannya juga diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 1 Juli 1852 Pangeran mendapat anugerah Sandang Mardaheka dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, Mr. G Isaac Bruce/Mr. Duijmaer van Twist (1851-1856). Sandang Mardaheka diberikan karena jasa besar Pangeran Ringgau yang berhasil memadamkan kerusuhan di Muko-muko Bengkulu dan Pasemah Lebar.

Bersamaan dengan itu diberikan sebuah tongkat berhulu emas dalam bentuk lambang mahkota (crown), sebilah pedang bertahtakan crown pula dan bintang jasa Diberikan pula pembebasan pajak selama 15 tahun. Bahkan gelar Pangeran diberikan pula kepada keturunan lurus tertua Pangeran Ringgau dalam bentuk besluiit resmi. Belanda juga memberikan gelar tambahan Pangeran Ringgau, yaitu gelar Bindung Langit Alam Benggala.

Banyak orang beranggapan apa yang dilakukan Pangeran Ringgau di Muko-muko maupun Sawah Lebar merupakan bentuk ketidaksetiaannya pada prinsip Sai Batin, karena dianggap mau bekerja sama pada Belanda. Padahal upaya Pangeran Ringgau mengatasi kerusuhan di dua tempat itu memiliki dua tujuan. Pertama agar masyarakat di daerah itu dapat hidup aman, tenteram tanpa gejolak. Kedua agar masyarakat adat Sai Batin terlindungi. Pangeran Ringgau rela menempuh bahaya, termasuk dipandang bekerja sama dengan Belanda, dengan satu tujuan : sebagai Sai Batin ia harus melindungi rakyatnya.

Dan dikemudian hari terbukti apa yang dilakukan Pangeran Ringgau menjadi kebanggan sekaligus bukti bahwa Kepaksian Pernong tidak tunduk pada Belanda. Suatu kisah menyebutkan, suatu waktu ada seorang pejabat Belanda berkunjung ke Liwa dengan meniti kuda masing-masing. Semua Pasirah dan pemimpin adat diminta datang menghadap. Di hadapan pejabat Belanda itu, semua Pasirah dan pemimpin adat turun dari kudanya masing-masing untuk beruluk salam pada sang pejabat Belanda. Tapi Pangeran Ringgau tetap gagah duduk di atas pelana kuda putihnya, menyalami sang pejabat. Ketika ditanya mengapa ia tidak turun dari kuda seperti pemimpin adat lainnya, Pangeran Ringgau dengan tangkas menjawab, “Saya orang merdeka karena diberi sandang Mahardeka, dan saya tetap menyandang gelar Pangeran, bukan Pasirah atau kepala adat.”

Kisah itu menyiratkan betapa Pangeran Ringgau bisa berpikir dan mencandra jauh ke depan. Ia bagai seorang wali, yang rela mengambil resiko atas dirinya, demi menyelamatkan rakyatnya.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

kata To Lang pohwang yang berarti "Orang Atas" dalam bahasa Hokkian sangat patut dipertanyakan. Sebab para ahli Indonesia keturunan Tiongkok yang mengerti sejarah dan bahasa Hokkian baru maupun klasik tidak pernah mendengar kata tersebut ataupun kata yang mirip dengannya.