Lambang Paksi Buay Pernong

Lambang Paksi Buay Pernong
Kijang Melipit Tebing

Skala Brak, Asal Muasal Orang Lampung

Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia. Boleh jadi, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula. Sekala Beghak adalah kawasan di lereng Gunung Pesagi (2.262 m dpl), gunung tertinggi di Lampung. Kalau membaca peta daerah Lampung sekarang, Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat. Pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit. Di Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.

Pengelana Tiongkok, I Tsing, pernah menyinggahi tempat ini, dan ia menyebut daerah ini sebagai “To Lang Pohwang”. Kata To Lang Pohwang berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak ampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.

Tampilkan postingan dengan label Gagasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gagasan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Januari 2009

Meneruskan Tradisi Para Mujahid



Tabikpun pehaguk Suntan Beliauan say nyuncun Makhga Pernong! Sekindua sanak khantau anjak Kembahang Tuha tikham khasa diJaya'ni Makhga, nyuba usaha ngehimpun cutik Sejarah jama Budaya Nekham diwikipedia, kilu bimbing kik salah dikhekhika khik cakha! Lanjutni jak ija sekindua haga ngeni saran pehaguk beliauan, yadodia ngehimpunko Sejarah Paksi Pak Nekham dilom buku, sebagai acuan autentik Sejarah, Budaya, Silsilah khik Adat Kepaksian Nekham, terutama bagini Generasi Sekala Brak khususni khik Generasi Lampung selanjutni! Khanodia jak sekindua, kilu mahap kik salah cakha!
Tabik....
Tulisan di atas merupakan komentar dari pengunjung blog ini dengan identitas paksibuaybejalandiway.blogspot.com.
Seiring perjalanan waktu, harapan, keinginan dan kerinduan untuk mengangkat kembali sejarah Paksi Pak Sekala Brak semakin menguat ke permukaan. Hal itu perlu disyukuri, karena hal itu menunjukkan kuatnya kesadaran bersama masyarakat adat Paksi Pak Sekala Brak akan sejarah mereka, akan budaya, seni tradisi, dan nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung masyarakat Sai Batin. Lebih jauh, hal itu menunjukkan semangat untuk menegaskan identitas jati diri masyarakat Lampung, khususnya warga Paksi Pak Sekala Brak. Dengan mengenal jati diri, seseorang akan dengan mantap menatap masa depan. Dengan mengenal jati diri, kita akan megetahui di mana kita duduk, dengan siapa kita berhadapan, sekaligus mengetahui tugas dan tanggung jawab apa yang harus kita pikul untuk kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Gagasan untuk membukukan sejarah Paksi Pak Sekala Brak, merupakan kristalisasi dari cita-cita mengangkat kembali sejarah kerajaan Sekala Brak. Hal itu layak untuk diperhatikan oleh Semua Kepaksian dari Paksi Pak Sekala Brak.
Kita tahu, sebenarnya masing-masing kepaksian telah memiliki buku tentang kepaksian masing-masing. Buku yang ditulis oleh para budayawan, cerdik-cendekia masing-masing Paksi. Hal itu jelas sangat membantu masyarakat untuk melakukan kajian, penelitian dan klarifikasi atas sejarah Paksi Pak Sekala Brak.

Meski demikian, gagasan untuk memunculkan sejarah utuh Paksi Pak Sekala Brak patut diperjuangkan, karena hanya di tangan masyarakat adat Paksi Pak Sekala Brak-lah sejarah itu dapat dimunculkan kembali. Artinya sangat sulit jika kita mengharap ada pihak lain yang melakukan kajian dan penulisan buku sejarah Paksi Pak Sekala Brak. Penelitian, pengkajian dan penulisan sejarah Paksi Pak Sekala Brak harus dimulai dari diri kita sendiri, dari Paksi Pak Sekala Brak sendiri.
Jika para pendahulu Paksi Pak Sekala Brak, seperti Ratu Mumelar Paksi, Ratu Ngegalang Paksi beserta keempat umpu telah berjihad melawan 'sikap jahiliyah' suku Tumi, maka tugas kita masyarakat adat Sekala Brak di jaman seakrang untuk kembali berjihad menegakkan nilai-nilai tradisional, nilai-nilai kearifan lokal untuk membangun masyarakat. Kita perlu berjihad agar masyarakat Lampung, khususnya yang berkebudayaan Sai Batin agar tidak kehilangan jati diri mereka. Kita perlu berjuang agar masyarakat Sai Batin mengenal, bangga dan terus mengembangkan nilai-nilai luhur yang telah diperjuangan oleh para pendahulu.
Bisa jadi perlu keempat Paksi : Kepaksian Bejalan Diway, Kepaksian Nyekhupa, Kepaksian Pernong dan Kepaksian Belunguh, bertemu bersama, membahas strategi yang akan ditempuh untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kesai-batinan.
Baca Selengkapnya...

Senin, 29 Desember 2008

Lampung Satu



Wilayah Lampung memiliki akar historis yang panjang dan penting. Keberadaan masyarakat dan kebudayaan Lampung, sudah tercatat sejak abad ke 3-4 Masehi, dengan kebudayaan Animisme/Dinamisme. Kemudian pada periode berikutnya, jejak agama Hindu dan Budha hadir di Lampung, dianut oleh masyarakat dan kerajaan yang berdiri dan berjaya di Lampung. Setelah kejayaan Hindu/Budha, masuk agama Islam yang dibawa oleh para mujahid dari tanah Arab, dari dinasti Ummayad, sekali lagi Lampung menjadi tujuan awal perubahan peradaban. Para pendakwah Islam yang diundang oleh Kerajaan Sriwijaya Jambi, setelah berhasil membimbing raja Srindravarman untuk memeluk Islam dan mengubah nama kerajaannya menjadi Sribuza Islam, maka para pendakwah meneruskan perjalanan dakwahnya hingga ke Lampung.


Dari rentetan sejarah itu berarti Lampung memiliki peran strategis dalam mengawal perubahan peradaban di Indonesia. Oleh sebab itu menjadi tanggung jawab kita semua, warga Lampung untuk mengenal dan mencintai kebudayaan kita, kebudayaan nenek moyang kita, kebudayaan yang jelas benderang dalam lintasan sejarah Nusantara.
Untuk mewujudkan rasa cinta pada kebudayaan Lampung, dapat dilakukan dengan bebagai cara, salah satunya adalah menggali sejarah masa lalu dan menuliskannya dalam sebuah buku. Hal ini penting, karena meski sejarah Lampung amat bersinar, namun dalam sejarah bangsa Indonesia, sejarah Lampung amat sedikit yang bisa kita telusur. Hal itu disebabkan karena rendahnya tradisi teks pada masyarakat Lampung, sehingga sejarah dan budaya Lampung kurang menempati posisi penting dalam sejarah Nasional.

Oleh sebab itu upaya penerbitan buku, penulisan artikel di media massa, pembuatan blog budaya, dan segala hal yang dimungkinkan untuk menelusuri dan menginformasikan sejarah dan budaya Lampung, perlu diapresiasi positip. Kita berharap semakin banyak informasi tentang Lampung yang ditulis oleh para sejarawan dan budayawan Lampung, akan semakin memperjelas peran dan posisi Lampung dalam peradaban Indonesia. Dan yang lebih penting adalah agar masyarakat Lampung tidak kehilangan jati dirinya, karena tidak mengenal sejarah dan asal-usulnya.
Saya mengetahui dan membaca beberapa komunitas budaya dan adat di Lampung telah menerbitkan buku tentang komunitas mereka, hal itu merupakan langkah awal untuk melakukan penelitian dan pengkajian sejarah Lampung secara komprehensif. Saat ini begitu banyak sejarah ditulis berdasarkan cerita-cerita lisan, berdasar mitos-mitos, bukan berdasar kajian dan penelitian. Oleh sebab itu, saya berharap penulisan itu dapat ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian dan pengkajian lebih serius.

Meski banyak sejarah ditulis berdasar mitos, namun hal yang paling membanggakan adalah adanya spirit untuk menggali, dan menemukan jati diri dalam satu komunitas yang beradab. Artinya, kehadiran kita (orang Lampung) sebagai suatu bangsa, tidak tiba-tiba tapi merupakan rentetan sejarah yang panjang, hingga kemudian kita menemukan bentuk final, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di titik inilah penerbitan buku-buku itu menemukan peran strategisnya. Buku merupakan bagian penting sebagai bagian dari mata rantai dialog kebudayaan yang terus-menerus dilakukan. Dan saya mendorong agar semua pihak, sudi meneliti, mengkaji dan menuliskan sejarah dan kebudayaan masing-masing, dengan harapan terjadi klarifikasi dan ditemukan titik-titik persamaan diantara semua kebudayaan yang ada di Lampung.
Kita sama mafhum bahwa dalam segala keberagaman budaya ada benang merah yang kita yakini bersama, juga tertulis dalam kajian peneliti-peneliti Indonesia maupun asing, bahwa masyarakat Lampung berasal dari Sekala Brak, Gunung Pesagi. Pengakuan ini dapat dijadikan titik tolak penelitian untuk mengungkap fakta-fakta tentang Lampung di masa lalu. Dan pengakuan itu sekaligus menunjukkan, meski Lampung memiliki keragaman budaya, namun tetap satu : satu nenek moyang, satu asal, dan satu sejarah.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 21 Desember 2008

Suara Hati

Beberapa komentar yang masuk ke Blog ini, membuat Pangeran Edward merasa terharu. Pangeran merasa begitu besar perhatian masyarakat, khususnya masyarakat adat Kepaksian Pernong. "Komentar itu menunjukkan betapa kecintaan masyarakat pada adat-istiadatnya. Sekaligus membuktikan kesetiaan mereka pada adat-istiadat, dimanapun mereka berada, mereka masih tetap mengaku bahkan bangga dan mengaku sebagai warga Kepaksian," kata Pangeran Edward.

Kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki warga adat itu merupakan modal untuk merevitalisasi kebudayaan Saibatin. Pangeran berharap warga adat Saibatin dapat menjaga nilai-nilai budaya tersebut di manapun mmereka berada. Bahkan perlu dilestarikan agar dapat mengharumkan nama Kepaksian, juga daerah Lampung Barat. Karena bagi Pangeran Edward, kebudayaan daerah yang bersumber dari kerajaan di masa lalu, merupakan alat perekat bangsa. Semakin kebudayaan daerah itu hidup dan berkembang, maka NKRI akan semakin kokoh, maju dan dihargai bangsa-bangsa lain.
Pangeran Edward mengucapkan terima kasih pada warga adat Saibatin dimanapun berada, dan berharap suatu saat dapat bersilaturrahmi untuk membahas bagaimana memajukan kebudayaan Saibatin.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 13 Desember 2008

Peran Konstitusional Raja-raja Nusantara Dalam Memajukan Kebudayaan Nasional



Diklaimnya produk kebudayaan Indonesia seperti Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, motif batik, motif pahat Bali dan Asmat, dan beberapa lagi oleh negara lain, telah menyentak kesadaran masyarakat Indonesia. Mengapa kebudayaan kita diakui atau bahkan dianggap milik bangsa lain. Kasus itu telah menyulut emosi dan menghadirkan tuduhan pada negara yang mengkalim produk budaya Indonesia sebagai budaya mereka. Bahkan timbul wacana agar Indonesia menggunakan kekuatan politik dan militer untuk mengembalikan harga diri bangsa.

Namun ada yang dengan kepala dingin berpikir, mencari akar permasalahan. Kelalaian kita –bangsa dan pemerintah Indonesia—yang menjadi penyebab produk kebudayaan kita diakui sebagai produk kebudayaan negara lain. Bangsa ini tidak setia menjaga warisan nilai-nilai budaya bangsa, di tengah deras arus budaya lain. Bangsa ini seolah tak berdaya di tengah terpaan media massa yang datang tiap detik di ruang-ruang pribadi kita, merasuki alam bawah sadar, dan membentuk pola pikir dan pola tindak. Bangsa kita seperti tergagap dengan rayuan budaya lain yang menawarkan kemudahan, keindahan, kemewahan dan kenikmatan. Budaya yang membuat masyarakat kita terbang ke langit, melupakan bumi tempat mereka berpijak.
Mengapa ini terjadi?
Globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak. Namun bangsa yang cerdas adalah bangsa yang bergerak lebih cepat, menjadikan budaya bangsanya sebagai budaya global. Sedang bangsa yang bergerak lamban, hanya akan menjadi lahan subur budaya asing. Karena itu jika Indonesia menjadi lahan subur budaya asing, berarti bangsa ini telah bergerak lamban.
Mengapa demikian? Bisa jadi hal itu merupakan masalah prioritas. Pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi, mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena ekonomi menjadi prioritas utama, maka kebudayaan sementara ditinggalkan. Padahal UUD 1945 beserta amandemennya, telah mengamanatkan agar negara mengakui, menghormati, dan melindungi kebudayaan.
Pasal 18B UUD 1945 ayat 2 menyatakan :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Siapakah yang dimaksud dengan “kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya?” Kesatuan masyarakat hukum adat jelas merujuk pada masyarakat adat. Dan masyarakat adat, secara historis merupakan bagian dari sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dan “hak-hak tradisionalnya” merujuk pada hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Nusantara, misalkan hak atas tanah, hak atas gelar, hak atas kepemimpinan lokal-tradisional, dan sebagainya.
Dengan demikian pasal 18B UUD 1945 ayat 2 merupakan dasar hukum bagi Pemerintah Pusat, untuk mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan Nusantara. Eksistensi yang dimaksud adalah eksistensi budayanya. Hal itu sesuai dengan pasal 28-I UUD 1945 ayat 3 :
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Perkembangan zaman yang dimaksud bisa diterjemahkan sebagai bentuk kompromi budaya; antara budaya masyarakat tradisional dengan budaya baru yang masuk. Dengan kompromi itu diharapkan muncul inovasi dan kreasi baru untuk kesejahteraan masyarakat.
Perkembangan jaman juga bisa bermakna perkembangan atau dinamika masyarakat Indonesia. Setelah kemerdekaan, seluruh kerajaan-kerajaan Nusantara bergabung dengan NKRI. Dan UUD 1945 dengan amandemennya membagi wilayah Indonesia menjadi daerah-daerah. Hal itu bermakna bahwa “kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya,” disesuaikan dengan kondisi kewilayahan Indonesia Modern. Misalkan Mataram saat ini berada di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Atau lebih spesifik kekuasaan Ngayogyakarta Hadiningrat berada di wilayah DIY, sedang Surakarta Hadiningrat berada di wilayah Jawa Tengah.
Dengan demikian, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat harus dihormati oleh Negara Indonesia. Demikian juga dengan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain.
Lantas apa bentuk konkret dari “dihormati” sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28-I UUD 1945 ayat 3?
Kata dihormati artinya keberadaannya bukan hanya diakui namun juga dipelihara oleh negara. Dan bentuk negara memelihara identitas budaya dan hak masyarakat adat tradisional adalah menempatkan para pemimpin masyarakat tradisional, dalam hal ini Raja-raja Nusantara, dalam kedudukan sebagai rujukan bagi pengembangan budaya-budaya lokal. Setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah daerah, harus dikomunikasikan dengan para pemimin adat. Apalagi jika kebijakan yang akan diambil pemerintah daerah itu menyangkut tanah adat atau hak ulayat, tata kota, kesenian, dan kesejarahan.
Dan bentuk “dipelihara” oleh negara, artinya negara atau pemerintah memfasilitasi segala keperluan dalam upaya-upaya mempertahankan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Hal ini sesuai dengan pasal 32 ayat 1 UUD 1945 :
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Sebaliknya, jika masyarakat adat tidak diberi kebebasan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, berarti pemerintah telah melanggar UUD 1945 beserta amandemennya.
Hadirnya lembaga kebudayaan (Dewan kebudayaan kota/kabupaten maupun propinsi), di hampir seluruh daerah di Indonesia, bisa disebut sebagai itikad untuk melaksanakan pasal 32 ayat 1 UUD 1945. Dewan Kebudayaan berfungsi untuk memikirkan dan memperbaiki kebudayaan, melakukan penelitian, pengkajian, serta membuat konsep-konsep yang dapat disumbangkan pada pemerintah sebagai bahan pengambilan keputusan.
Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya saat meresmikan Dewan Kebudayaan Propinsi DIY menyatakan : “kedudukan Dewan Kebudayaan sebagai pusat pemikiran dalam mengadaptasi budaya iptek global, seraya membangun kearifan budaya lokal guna mengukuhkan jati diri bangsa yang berbasis pada kebhinekaan budaya etnik Nusantara .”
Dewan Kebudayaan adalah independen dan menjadi partner pemerintah daerah. Keberadaannya harus di luar pemerintah. Hal itu dikarenakan Dewan Kebudayaan harus memiliki kewewenang penuh dalam menjalankan tugasnya yaitu memajukan kebudayaan dan menjadikan kebudayaan sebagai strategi pembangunan masyarakat.
Dewan Kebudayaan sangat diperlukan untuk menginventarisir produk kebudayaan, seperti seni, alat, kain, tata kota, hak atas tanah dan lain-lain. Dari inventarisasi itulah, Dewan Kebudayaan akan merumuskannya menjadi kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Dengan demikian, kebudayaan daerah akan terus hidup.
Siapakah yang perlu/harus duduk di Dewan Kebudayaan? Seperti diuraikan di atas, bahwa masyarakat adat merujuk pada Kerajaan-kerajaan Nusantara yang eksistensinya diakui oleh Negara. Bentuk pengakuan eksistensi tersebut harus dikonkretkan, yaitu dengan menyerahkan Dewan Kebudayaan pada keluarga Kerajaan Nusantara. Dengan kata lain, dalam kehidupan negara modern, maka harus dikompromikan antara pemerintah dengan kepala adat (Raja Nusantara). Kepala Daerah dan DPRD tidak dapat mengabaikan masukan pemimpin budaya/adat yang berada di Dewan Kebudayaan, dalam setiap pengambilan keputusan. Bahkan bila dimungkinkan, Dewan Kebudayaan memiliki hak veto atas rencana pembangunan pemerintah daerah, bila rencana itu dikhawatirkan dapat menghambat kebudayaan daerah, atau bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat adat di daerah bersangkutan.

Baca Selengkapnya...

Jumat, 08 Desember 2006

Strategi Mengaktualisasikan Kebudayaan Sai Batin

Definisi Kebudayaan
Budaya memiliki akar kata dari bahasa Sansekerta : buddhayah. Budhayah merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Indonesia, kebudayaan juga sering dipakai dengan istilah kultur, sebuah kata serapan dari bahasa Inggris : culture. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin : Colere, yang berarti mengolah atau mengerjakan.

Banyak definisi tentang kebudayaan yang dikemukakan para pakar. Parsudi Suparlan, mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.
Lebih jauh, Parsudi Suparlan menyatakan Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya .
Sedang R. Soekmono mengatakan kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan. Antropolog Koentjaraningrat berpendapat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar .
Kebudayaan sendiri memiliki tujuh unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur tersebut ada dan terdapat di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian .
Dengan berbagai definisi itu, maka kebudayaan bukanlah sebuah kata benda melainkan suatu kata kerja. Kebudayaan adalah karya manusia, dan tanggung jawab manusia. Demikian kebudayaan dilukiskan secara fungsional yaitu sebagai suatu relasi terhadap rencana hidup manusia. Kebudayaan kemudian tampak sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan oleh umat manusia. Ini berarti perkembangan kebudayaan tidak terlaksana di luar manusia tetapi di dalam diri manusia .
Oleh sebab itu Mudji Sutrisno berpendapat, kebudayaan itu berbasis pada nilai yang mengutamakan kehidupan dan kemanusiaan. Kebudayaan merupakan ruang hidup masyarakat untuk memaknai hidup, memberi arti sosialitasnya dan identitas diri dalam upaya saling memperkaya, saling hormat dan beradab, serta adilnya kemanusiaan .
W.S. Rendra dalam Kongres Kebudayaan IV di Jakarta, 29 Oktober – 3 November 1991, mengemukakan bahwa setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Pertama, kemampuan bernafas. Kedua, kemampuan mencerna. Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi .
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat .
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat .
Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat .
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat .
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kebudayaan sebagai hasil cipta, karya, dan karsa manusia merupakan pertautan antara kondisi lingkungan alam dan sosial tempat manusia tinggal dan kehendak luhur yang diharapkan. Kondisi lingkungan dan sosial tempat manusia tinggal saling pengaruh-mempengaruhi manusia baik mengenai kebiasaan, cara pandang, maupun kepercayaan.
Manusia yang hidup dalam lingkungan berpendidikan tinggi, berbeda dengan manusia dengan pendidikan rendah. Manusia yang berada di pegunungan berbeda dengan manusia yang bertempat tinggal di pantai. Manusia kota berbeda dengan manusia desa. Perbedaan melahirkan cara pandang dan tindakan serta keputusan yang berbeda. Orang berpendidikan tinggi akan berbeda cara pandang, gagasan dan tindakannya ketika menghadapi beban pekerjaan dengan manusia yang bertempat tinggal di desa. Perbedaan itu tidak bisa kemudian dilekatkan dengan ukuran kualitatif seperti baik-buruk, tinggi-rendah dan sejenisnya, melainkan dengan ukuran kepentingan atau kebutuhan. Karena perbedaan lahir dari kebutuhan yang menuntut pemenuhan. Orang desa dalam mengatasi problem pekerjaan mungkin akan memutuskan untuk membuka lahan baru atau mengubah jenis tanaman. Sedang orang kota akan melakukan dengan cara yang berbeda seperti meningkatkan produksi, mempergencar promosi dan sebagainya. Tidak bisa dikatakan membuka lahan pertanian baru lebih tinggi nilainya daripada meningkatkan produktivitas.
Dan kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi itu, keputusan yang diambil berdasarkan atas gagasan luhur yang diharapkan. Misalkan agar keturunannya dapat hidup lebih baik, agar tercipta lingkungan sosial yang harmonis dan sebagainya.
Dengan demikian kebudayaan merupakan proses yang terus-menerus berjalan, seiring dengan kemajuan yang diciptakan manusia sebelumnya. Begitu terus-menerus, dan proses tersebut tak pernah berhenti sebelum manusia meninggal. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan proses kreatif untuk memenuhi kebutuhan manusia demi menggapai gagasan luhur yang diharapkan.
Sebuah masyarakat atau suku bangsa, akan hidup dengan kebudayaannya, selama kebudayaan ‘asli’ itu dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh para pengusungnya. Namun bila tantangan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka manusia dengan kemampuannya beradaptasi, akan mencari kebudayaan lain, yang dinilai dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Proses tarik-menarik tersebut sering kemudian diistilahkan dengan infiltrasi budaya asing pada budaya setempat.
Kebutuhan jelas merupakan keniscayaan hidup, oleh sebab itu kebudayaan yang tidak sanggup memenuhi tuntutan kehidupan akan ditinggalkan oleh para pengusungnya. Dan lama-kelamaan budaya setempat akan hilang sama sekali digantikan oleh kebudayaan asing. Proses tersebut melahirkan apa yang disebut kondisi ‘gegar budaya’. Gegar budaya akan membuat manusia pengusungnya akan kehilangan identitas kebudayaannya, bagai manusia tanpa rumah, ia tak memiliki hak apapun, kecuali menjalankan kewajiban yang dibebankan orang lain kepadanya.
Oleh sebab itu agar tidak terjadi “gegar budaya” diperlukan strategi kebudayaan.

Strategi Kebudayaan
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membutuhkan penyesuaian tata nilai dan perilaku. Pengembangan kebudayaan harus dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas yang sesuai dengan nilai-nilai luhur. Pengembangan kebudayaan juga perlu menciptakan iklim yang kondusif dan harmonis, sehingga nilai-nilai kearifan lokal dapat merespon modernisasi dengan positif dan produktif.
Mengacu pada uraian tentang definisi kebudayaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan niscaya menghendaki pembaharuan sesuai dengan etnisitas dan tradisi. Oleh sebab itu strategi kebudayaan yang harus dilakukan adalah menatap ke depan. Dalam jaman globalisasi, politik ‘pintu tertutup’ tidak lagi relevan, oleh sebab itu membangun strategi kebudayaan haruslah memiliki orientasi bahwa kebudayaan merupakan kesenyawaan antara kita dan masyarakat dunia.
Artinya ketujuh unsur kebudayaan : bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian, harus terus-menerus diperbaharui sesuai dengan perkembangan intelektual, teknologi, kondisi sosial-politik, dan tuntutan kebutuhan untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa pemilik kebudayaan tersebut.
Masuknya kebudayaan asing, merupakan keniscayaan yang tak dapat ditolak, mengingat perkembangan dunia teknologi dan informasi. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi mendorong perubahan ekonomi global. Dan perubahan ekonomi mendorong terjadinya perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat. Perubahan perilaku dan pola pikir berdampak pada kehidupan politik. Dan seringkali sikap politik yang terlembagakan akan mempengaruhi kebijakan, terutama yang secara langsung berdampak pada budaya. Misalkan dibukanya kesempatan seluas-luasnya untuk membangun perumahan, berdampak pada tanah dan perilaku masyarakat. Dibukanya lahan perkebunan komoditas tertentu untuk kepentingan industri, bisa berdampak pada hak ulayat tanah. Dan sebagainya.
Meski demikian, masuknya pengaruh dari luar yang memang tak bisa dihindarkan, tidak selalu berdampak buruk. Kemajuan teknologi informasi berdampak positip terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dapat dipergunakan untuk kepentingan produktif, misalkan dengan menciptakan alat-alat untuk membantu kehidupan.
Di samping itu kemajuan teknologi informasi juga dapat dimanfaatkan untuk mendokumentasikan produk budaya. Pendokumentasian produk budaya bisa dijadikan bahan untuk melakukan dialog budaya, dari dialog budaya tersebut dapat dihasilkan sikap toleransi, kepedulian, dan hasrat untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
Dengan kata lain, segala ancaman tersebut dapat diadaptasi menjadi sebuah peluang. Kemampuan untuk mengadaptasi itu, sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing kebudayaan. Hanya diperlukan cara cerdas untuk melakukan hal tersebut, agar proses adaptasi dapat berjalan dengan baik, tidak melahirkan konflik, dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kebudayaan bersangkutan.

Kebudayaan Sai Batin
Kebudayaan Sai Batin di daerah Lampung Barat, terutama yang dianut oleh Paksi Pak Sekala Beghak, merupakan sebuah kebudayaan yang utuh dan lengkap. Ketujuh unsur budaya : bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian sudah dimiliki. Bahkan, berbeda dengan beberapa kebudayaan di Indonesia yang lain, kebudayaan Sai Batin, relatif masih terjaga otentisitasnya. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh letak geografis para pendukung budaya Sai Batin.
Namun agar kebudayaan tersebut dapat terus bertahan dan mampu beradaptasi dengan kebudayaan luar, diperlukan strategi yang tepat dan terencana.
Kebudayaan Sai Batin yang diusung oleh masyarakat sedarah, berasal dari leluhur yang sama, relatif mudah dikelola. Persatuan darah dan daerah menjadi perekat penting kemajuan kebudayaan Sai Batin.
Di bagian awal telah disebutkan bahwa kebudayaan dapat bertahan bila dapat memenuhi tantangan kebutuhan pengusungnya, maka kebudayaan Sai Batin juga dapat bertahan selama masyarakat adat Sai Batin dapat merasakan manfaat sebesar-besarnya kebudayaan mereka. Menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana mengubah kebudayaan dari tahap mitis-ontologis menjadi fungsional.
1. Mitis
Istilah mitis kemudian berubah menjadi mitos. Mitos berarti kisah yang memberikan pedoman dan arah tertentu untuk sekompok orang. Mitos biasanya dipelihara secara turun-temurun, dari waktu ke waktu. Kisah tersebut dapat diungkapkan dengan kata-kata, tari-tarian, atau pementasan lain, wayang misalnya. Produk budaya tersebut mengandung mitologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh pendukung kebudayaan tersebut. Dengan demikian, produk budaya menjadi sarana komunikasi, sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi kebudayaan baik dalam konteks ritual, seni, maupun dalam bentuk pertunjukan lainnya. Maka mitos tidak hanya sebuah kisah masa lalu, namun memberikan arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia.
Mitos tersebut berfungsi sebagai : pertama, menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib di luar dirinya. Kedua, memberi jaminan pada masa sekarang, bahwa usaha manusia untuk mengukir sejarah hidupnya akan terus berlangsung. Dengan kata lain mitos berfungsi menampakkan kekuatan adi kodrati, menjamin kehidupan masa sekarang, memberi pemahaman bahwa manusia berada dalam lingkup kekuatan alam. Oleh sebab itu dalam alam pikiran mitis pun, manusia telah memiliki norma yang mengatur tingkah laku manusia. Norma inilah yang kemudian akan berubah menjadi lebih baik atau justru mengalami kemunduran. Norma akan berjalan sesuai dengan perkembangan pola pikir manusia.
2. Ontologis
Dalam alam pikiran ontologis, manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang melingkupinya. Manusia berusaha memperoleh pemahaman mengenai kekuatan-kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Artinya manusia mulai berpikir secara logis-rasional. Namun manusia tidak hanya berpikir secara logis-rasional saja, melainkan juga emosi dan harapan, agama dan keyakinan juga tetap berpengaruh.
3. Fungsional
Manusia tidak lagi terpesona oleh lingkungannya (mitis). Juga tidak lagi mengambil jarak terhadap obyek penelitiannya (ontologis). Tetapi manusia mulai melakukan relasi-relasi baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Dengan kata lain, tradisi yang selama ini dilihat sebagai kajian yang hanya bersifat hubungan seremoni, haruslah diaksentuasikan pada pilar-pilar baru bagi fondasi pembangunan.
Dalam konteks kebudayaan Sai Batin, sikap mitis dan ontologi, keduanya masih terus berjalan. Namun di sisi lain, kebudayaan Sai Batin perlu menjadi fungsional. Artinya bagaimana muncul hubungan antara kebudayaan dengan kepentingan pendukung kebudayaan. Bagaimana alam dan lingkungan sosial dapat dimanfaatkan untuk kepentingan para pendukungnya.
Kepentingan yang dimaksud berkaitan dengan ekonomi, politis, religi, dan identitas-kebanggaan. Kebanggaan dimaksud bukan hanya sekedar kebanggaan internal, merasa bangga menjadi anggota dari masyarakat Sai Batin, tapi juga bangga bahwa kebudayaan Sai Batin dapat memenuhi tantangan kehidupannya, dihadapan kebudayaan lain.
Sasaran yang diharapkan dari strategi tersebut adalah :
1. Menurunnya ketegangan dan ancaman konflik intern dan antar kelompok masyarakat pendukung kebudayaan Sai Batin.
2. Semakin kokohnya kebudayaan Sai Batin, dengan filosofi dan cita-cita luhur yang diharapkan.
3. Semakin berkembangnya penerapan nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya Sai Batin.

Maka kebijakan yang dapat ditempuh adalah :
1. Mengembangkan modal sosial, berupa rasa memiliki, kebangaan, dan kepedulian.
2. Melakukan modernisasi untuk kepentingan kemajuan kebudayaan Sai Batin. Termasuk modernisasi pola pikir dan perilaku masyarakat dengan tetap menjunjung falsafah dan nilai-nilai luhur kebudayaan.
3. Reaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar pengembangan etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas budaya Sai Batin.
4. Program Pengembangan Kekayaan Budaya yang dapat dilakukan ialah meningkatkan apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk budaya Sai Batin baik yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat mata (intangible).

Kegiatan yang akan dilakukan antara lain :
1. Transkripsi dan transliterasi naskah-naskah kuno, baik naskah dari masyarakat Sai Batin, maupun kebudayaan lain.
2. Pengembangan sistem informasi dan database bidang kebudayaan antara lain peta budaya, produk-produk budaya (tarian, tambo, situs dan sebagainya)
3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pendukung kebudayaan Sai Batin.
4. Peningkatan kapasitas kelembagaan, melalui pembenahan sistem manajerial lembaga-lembaga yang mengelola kekayaan budaya.
5. Pengembangan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan kekayaan budaya, misalnya melalui pengadaan paket wisata, produk kerajinan dan sebagainya.
6. Bekerjasama dengan pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan pemeliharaan dan pengembangan kekayaan budaya.
7. Melakukan dialog dengan kebudayaan-kebudayaan lain, dengan cara mengikuti pertemuan raja-raja Nusantara, melakukan kerja sama kebudayaan, pertukaran SDM yang memiliki kompetensi tertentu, dan sejenisnya.

Baca Selengkapnya...